Rabu, 16 Desember 2009

Kapasitansi (C), Reaktansi Kapasitansi (XC), dan Hubungan Kapasitansi dengan Bumi

Kapasitansi (C), Reaktansi Kapasitansi (XC), dan Hubungan Kapasitansi dengan Bumi


Kapasitansi atau kapasitans adalah ukuran jumlah muatan listrik yang disimpan (atau dipisahkan) untuk sebuah potensial listrik yang telah ditentukan. Bentuk paling umum dari piranti penyimpanan muatan adalah sebuah kapasitor dua lempeng/pelat/keping. Jika muatan di lempeng/pelat/keping adalah +Q dan –Q, dan V adalah tegangan listrik antar lempeng, maka rumus kapasitans adalah:


Unit SI dari kapasitansi adalah farad; 1 farad = 1 coulomb per volt.
Kapasitans dan arus pergeseran
Fisikawan bernama James Clerk Maxwell menemukan konsep arus pergeseran, , untuk membuat hukum Ampere konsisten dengan kekekalan muatan dalam kasus dimana muatan terakumulasi, contohnya di dalam sebuah kapasitor. Ia menginterpretasikan hal ini sebagai sebagai gerakan nyatanya muatan, bahkan dalam vakum, dimana Maxwell menduga bahwa gerakan nyatanya muatan berhubungan dengan gerakannya muatan dipol di dalam eter. Meski interpretasi ini telah ditinggalkan, koreksi dari Maxwell terhadap hukum Ampere tetap valid (medan listrik yang berubah-ubah menghasilkan medan magnet).
Persamaan Maxwell menggabungkan hukum Ampere dengan konsep arus pergeseran dirumuskan sebagai . (Dengan mengintegralkan kedua sisi, the integral dari bisa diganti dengan integralnya di sekeliling sebuah kontur tertutup, dengan begitu mendemonstrasikan interkoneksi dengan formulasinya Ampere.)
Koefisien potensial
Diskusi di atas hanya berlaku dalam kasus dua lempeng konduksi. Definisi C=Q/V masih berlaku bila hanya satu lempeng yang diberikan muatan listrik, dengan ketentuan bahwa garis-garis medan yang dihasilkan oleh muatan itu berakhir seakan-akan lempeng tadinya berada di pusat ruang lingkup bermuatan sebaliknya pada ketakterhinggaan.
C=Q/V tidak berlaku saat jumlah lempeng yang bermuatan lebih dari dua, atau ketika muatan netto di dua lempeng adalah bukan-nol. Untuk menangani kasus ini, Maxwell memperkenalkan konsep "koefisien potensial". Jika tiga lempeng diberikan muatan Q1,Q2,Q3, maka voltasenya lempeng 1 adalah
V1 = p11Q1 + p12Q2 + p13Q3 ,
dan rumus yang sama juga berlaku bagi voltase lainnya. Maxwell memperlihatkan bahwa koefisien potensial adalah simetris, sehingga p12 = p21, dll.
Dualitas kapasitansi/induktansi
Dalam istilah matematika, kapasitas yang ideal bisa dianggap sebagai kebalikan dari induktansi yang ideal, karena persamaan voltase-arusnya dua fenomena bisa dialihragamkan ke satu sama lain dengan menukarkan istilah voltase dan arus.
Kapasitansi sendiri
Dalam sirkuit listrik atau untai elektris atau rangkaian listrik, istilah kapasitansi biasanya adalah singkatan dari kapasitansi saling (Bahasa Inggris: mutual capacitance) antar dua konduktor yang bersebelahan, seperti dua lempengnya sebuah kapasitor. Terdapat pula istilah kapasitansi-sendiri (Bahasa Inggris: self-capacitance), yang merupakan jumlah muatan listrik yang harus ditambahkan ke sebuah konduktor terisolasi untuk menaikkan potensial listriknya sebanyak 1 volt. Titik rujukan untuk potensial ini adalah sebuah ruang lingkup/kawasan konduksi berongga teoritis, dari radius yang tak terhingga, yang berpusat pada konduktor. Dengan mempergunakan metode ini, kapasitansi-sendiri dari sebuah kawasan konduksinya radius R adalah:


Nilai tipikalnya kapasitansi-sendiri adalah:
• untuk "lempeng" puncaknya generator van de Graaf, biasanya sebuah bola 20 cm dalam radius: 20 pF
• planet Bumi: sekitar 710 µF
Kondensator
Kapasitansi mayoritas kondensator atau kapasitor yang digunakan dalam rangkaian elektronik adalah sejumlah tingkat besaran yang lebih kecil daripada farad. Beberapa sub satuannya kapasitansi yang paling umum digunakan saat ini adalah milifarad (mF), mikrofarad (µF), nanofarad (nF), dan pikofarad (pF).
Kapasitansi bisa dikalkulasi dengan mengetahui geometri konduktor dan sifat dielektriknya penyekat di antara konduktor. Sebagai contoh, besar kapasitansi dari sebuah kapasitor “pelat-sejajar” yang tersusun dari dua lempeng sejajarnya seluas A yang dipisahkan oleh jarak d adalah sebagai berikut: is approximately equal to the following:
(in SI units)
Dimana :
C adalah kapasitansi dalam farad, F
A adalah luas setiap lempeng, diukur dalam meter persegi
εr adalah konstanta dielektrik (yang juga disebut permitivitas listrik relatif) dari bahan di antara lempeng, (vakum =1)
ε0 adalah permitivitas vakum atau konstanta listrik dimana ε0 = 8.854x10-12 F/m
d adalah jarak antar lempeng, diukur dalam meter
Persamaan di atas sangat baik digunakan jika d besarnya kecil bila dibandingkan dengan dimensi lainnya lempeng. Dalam satuan CGS, persamaannya berbentuk:


dimana C dalam kasus ini memiliki satuan panjang.
Tetapan dielektrik bagi sejumlah perubahan dielektrik yang sangat berguna sebagai sebuah fungsi medan listrik terapan, misalnya bahan-bahan feroelektrisitas, sehingga kapasitansi untuk berbagai piranti ini tak lagi sekedar memiliki fungsi alat geometri. Kapasitor yang menyimpan tegangan sinusoidal, tetapan dielektrik, merupakan sebuah fungsi frekwensi. Tetapan dielektrik ubahan berfrekwensi disebut sebagai tebaran dielektrik, dan diatur oleh berbagai proses relaksasi dielektrik, seperti kapasitansi relaksasi Debye.
Pengisian dan Pengosongan Kapasitor

Dua hal yang perlu dioperhatikan pada suatu kapasitor adalah saat pengisian dan pengosongan muatannya. Untuk ini dapat diuraikan dengan bantuan gambar

Apabila saklar S dihubungakan keposisi 1 maka akan mengalir arus dari sumber melalui hambatan R ke kapasitor C. tegangan pada C akan naik secara eksponensial sesuai dengan persamaan berikut :

Dimana :
Vc = tegangan pada kapasitor (V)
Vs = tegangan pada sumber (V)
t = waktu pengisian kapasitor (det)
R = resistansi dari resisitor (Ω)
C = kapasitansi dari kapasitor (F)
Arus I akan berhenti mengalir (I = 0) pada saat tegangan kapasitor C sama dengan tegangan sumber Vs. proses tesebut dinamakan pengisian kapasitor. Kemudian bila saklar S dihubungkan ke posisi 2, maka arus akan mengalir dengan arah berlawanan dengan arah pengisian. Kapasitor akan mengeluarkan kembali energi listrik yang disimpannya dengan persamaan tegangan :

Pada saat kapasitor telah mengosongakan seluruh muatannya aliran arus akan berhenti (I = 0). Gambar 2.4. memperlihatkan grafik pengosongan muatan kapasitor. Dari grafik - grafik dan persamaan-persamaannya bahwa (a) t = 0 ; q =0 dan I = Vs/R dan (b) jika t ~ , q Vc Vs. Dan I 0 ; yakni mula-mula arus tersebut adalah Vs/R dan akhirnya 0, dan mulamula muatan pada pelat-pelat kapasitor pada mulanya adalah 0 dan akhirnya VcVs

(a) grafik pengisian kapasitor (b) grafik pengosongan kapasitor
Waktu yang diperlukan untuk pengisian dan pengosongan kapasitor bergantung kepada besar RC yang disebut konstanta waktu (time constant) yaitu :
t= R.C
Dimana :
t= konstanta waktu (detik)
R = Resistansi dari kapasitor (Ω)
C = Kapasitansi dari kapasitor (F)
Apabila persamaan (7) disubstitusi kepersamaan (5) maka akan diperoleh pengertian bahwa setelah konstanta waktu t dilalui, tegangan kapasitor C yang sedang mengisi muatannya akan mencapai 63 % dari tegangan sumbernya.

ANALISIS SITEM TENAGA LISTRIK
“MERESUM KAPASITANSI”
Tugas Ini Dibuat Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Analisi Sistem Tenaga Listrik












Disusun Oleh :
Nama : Yohanes Catur Wibowo
NIM : 5301407024
Jurusan : Pendidikan Teknik Elektro 2007
Dosen : Drs. Agus Suryanto, M.T




FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009

filsafat ilmu

Ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunaan konsep-konsep yang sesuai dengan obyeknya, yaitu : manusia. Setiap tindakannya mempunyi motif yang harus di bedakan dengan penyebab-penyebab yang bekerja semata-mata di luar. Jika manusia, bedasarkan pengalamannya sendiri tahu tentang dirinya sendiri sebagai subyek, maka semua perilaku dan tindakannya menentukan kerangka metodis objek ilmu kemanusiaan.

Permasalahan yang mungkin timbul dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah mengenai sahih tidaknya ilmu-ilmu manusia terus berbicara tentang penelitian-penelitian yang positif atau yang negative terhadap perilaku manusia. Problem yang lain akan timbul apabila sasaranya adalah masalah praktis. Dengan mengabaikan metode yang di gunakan, permaalahan praktis mengetengahkan hal-hal yng berhubungan dengan struktur-struktur social dan perilaku manusia yang tertentu.

Permasalahan yang praktis yang berorientasi kepada nilai etis itu menjadi alasan utama untuk perlunya bebas nilai bagi ilmu sebagai teori. Pandangan beranggapan bahwa ilmu itu tidak boleh memperhatikan nilai-nilai. Ilmu itu harus hanya mengkostatasi hubungan kausal dan fungsional. Jika hubungan itu hendak di gunakan untuk tujuan tertentu, maka pertibangan yang di pakai haruslah ada di luar ilmu. Untuk itu diperlukan sarana-sarana yang dapat diabndalkan. Sarana-sarana itu juga harus bersifat netral. Kenetralan itu tidak boleh “tercemar” oleh pertimbangan-pertimbangan nilai yang membahayakan obyektifitas.

Telaah yang berkenan dengan ilmu social, boleh dipandang sama dengan yang terjadi dengan pengetahuan alam dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan alm menjelaskan secara teknis hal-hal yang dapat dikerjakan / dilaksanakan. Tetapi ilmu pengetahuan alam dan teknologi tidak menjelaskan dan tidak menjawab apakah hal-hal itu harusnya dilaksanakan. Mugkin ada pertanyaan : “Apakah ada, dalam teknologi yang dapat memusnahkan manusia, terdapat peranan pertimbangan-pertimbangan etis?” Atau: “Bagaimana satu-satunya pertimbangan etis yang memungkinkan dikembangkannya teknologi yang obyektif untuk memusnahkan manusia?” Masalah yang lain lagi: “Penelitian obyektif yang bagai manakah yang dapat dilaksanakan untuk menemukan obat yang sangat manjur dan bagaimanakah hingga kini tidak pernah dapat di sembuhkan?” Dari uraian tersebut gaknya diperoleh penompangan bagi pendirian tentang perlunya ilmu itu harus bebas nilai.

Khusus untuk ilmu social, berkenaan dengan paragraph di atas, dapat dikemukakan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah usaha kita bakal berujung pada penyingkiran semua pertimbangan nilai yang selama ini merupakan unsure-unsur intrinsic dalam ilmu-ilmu kemanusiaan?”. Pertanyaan ini ditindak dilanjuti dengan penggunaan distingsi mengenai dua hal, yaitu: pertimbangan nilai dan cra fungsinya.

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian nilai etis, nilai lain, dan pertimbamg-pertimbangannya. Dalam hubungan dengan nilai etis, ada satu hal diperlukan menjadi dasarnaya, yaitu norma. Pda nilai etis, norma yang menjadi dasarnya adalh norma yang tidak bergantung pada nilai lain. Misalnya, jika ada sesuatu yang dipandang sebgai indah atau menyenagkan, berguna atau sehat, maka pandangan tersebu bersumber pada nilai. Dalam hal demikian, yang dapat digunakan adalah norma (norna indah adalah X dan bukan non-X). jika suatu barang dinyatakan mempunyai kegunaan ekonomis, maka pertanyaan bersumber dari nilai dan yang digunakan untuk bertola adalah norma, bahwa kegunaan ekonomis itu didasarkan pada norma Y, dan bukan non-Y. Pertimbangan nilai memiliki sifatyang mutlak.

Pelbagai nilai bersumber pada nilai etis. Karena itu, nilai-nilai lain tidak bakal berbead dengan nilai etis. Jika mempersalahkan sesuatu menurut nilai tertentu, maka pertimbangannya tidak lain dari pada pertimbangan nilai etis juga. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan pula bahwa apa yang dinilai benar pada disiplin ilmu, adalah ditentukan oleh ilmu itu sendiri; dan apa yang dianggap baik dalam suatu teknologi, ditentukan pula oleh teknologi itu sendiri. Penilaian terakhir untuk menentukan adanay kebenaran didalam suatu ilmu dan adnya kesahihan di dalam suatu teknologi, hanya dapat di lakukan oleh ilmu ang paling berwenang, yaitu: etika. Dengan etika dijawab pertanaan mengenai penentuan: apkah sesuatu itu baik bagi manusia menurut totlitasnya.

Akhirnya, masalah moral tidak dapat dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih untuk mepertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban yang telah menyaksikan, Socrates dipaksa minum racun dan Jhon Huss dibakar. Sejarah tidak berhenti disini, kemanusiaan tiadak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka mudah sekali para ilmuwan tergelincir dalam melakukan protitusi intelektual. Penalaran secara nasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini bergani dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. Kaitan dengan hal ini, Alice menyatakan bahwa “Segalanya punya moral, asalkan kau mampu menemukannya”.

managemen sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mengetahui komponen-komponen manajemen sekolah.
b. Menjelaskan kegiatan-kegiatan yang termasuk manajemen kurikulum.
c. Membuat satuan pelajaran untuk pokok bahasan bidang studi.
d. Membedakan penilaian dengan pendekatan PAN dan PAP.
e. Menjelaskan cara penerimaan siswa baru, perekrutan pegawai baru, pembinaan pegawai, pengelolaan SPP.
f. Menjelasakan tugas HUSEMAS.
g. Menjelaskan fungsi layanan khusus sekolah.
h. Meningkatkan mutu pendidikan.
3. Rumusan Masalah
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.





BABII
ISI
“MANAJEMEN KOMPONEN-KOMPONEN SEKOLAH”
1. Manajemen Kurikuum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
 pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
 bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
 pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Suksesnya PBM dapat ditunjang oleh sarana dan prasarana pendidikan, anggaran/biaya, tata laksana, organisasi, serta HUSEMAS, termasuk pula supervisi yang mantap. Secara operasional kegiatan administrasi/manajemen kurikulum itu dapat meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik, dan seluruh sivitas akademik atau warga sekolah/lembaga pendidikan.
Ada tiga jenis jadwal pelajaran untuk guru, yaitu:
a. Jadwal pelajaran kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
1) Jadwal pelajaran kurikuler disusun secara edukatif oleh guru/tim guru dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan akademik seperti:
a) Keseimbangan berat/ringan bobot pelajaran setiap hari
b) Pengaturan mata pelajaran mana yang pelu didahulukan/di tengah/di akhir pelajaran, seperti olahraga, matematika, kesenian, seni rupa, dan seterusnya.
c) Mata pelajaran yang bersifat praktikum/PKL/PPL dan sebagainya.
2) Jadwal pelajaran kokurikuler disusun secara strategic sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok pesrta didik/siswa sehimgga seperti tugas-tugas PR (pekerjaan Rumah) benar-benar dapat meningkatkan pemahaman, keterampilan, serta mencerna materi pelajaran secara efektif dan efisien.
3) Jadwal pelajaran ekstra-kurikuler disusun di luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler, biasanya bersifat pngembangan ekspresi hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti seni tari, seni music, cinta alam, palang merah remaja, dokter kecil, koperasi, pramuka, serta penunjang PBM lainya.
b. Jadwal pelajaran yang tatp muka dan non tatap muka.
Jadwal pelajaran tatap muka dalam kelas yang dibatasi empat dinding atau kelas yang berupa lapangan olahraga, pasar, lalu lintas, dan sebagainya.
Dalam kegiatan PBM (proses belajar mengajar) guru mempunyai tugas yang merupakan serangkaian kegiatan pengajaran/instruksional untuk mencapai hasil pengajaran yang optimal, yaitu:
a. Membuat persiapan/ perencanaan pengajaran (desain instruksional)
b. Melaksanakan pengajaran (termasuk pengelolaan kelas)
c. Mengevaluasi hasil pengajaran
Desain instruksional adalah suatu perencanaan pengajaran dianggap sebagai system yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai sesuatu tujuan. Bila salah satu komponen tidak berfungsi, maka seluruh system akan terganggu sehingga tujuan yang telahditetapkan tidak dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam evaluasi kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan atas 4 macam, yaitu:
a) Evaluasi formatif bagi siswa
1) Mengingat bahwa tujua belajar adalah belajar tuntas (mastery learning for), maka sebelum menguasai secara tuntas suatu materi pelajaran maka siswa dituntut lebih dulu menguasai satu kesatuan kecil sebelum kesatuan berikutnya.
2) Sebagai diagnose kesulitan belajar dan cara mengatasinya misalnya dengan usaha remidi.
b) Evaluasi formatif bagi pengajaran
1) Sebagai umpan balik keberhasilan dalam mengelola kegiatan mengajar untuk mengetahui seberapa materi yang telah/belum dikuasai para mahasiswa.
2) Dapat meramalkan sejauh mana evaluasi sumatif siswanya nanti, sehingga evaluasi formatif dan sumatif berhubungan erat.
c) Evaluasi sumatif
1) Sebagai alat pembanding keterampilan dan kecakapn antara siswa yang satu dengan lainya (sampai menentukan rangkingnya)
2) Sebagai bahan untuk meramal penyelesaian studi siswa
3) Sebagai umpan balik bagi siswa sendiri
4) Sebagai bahan penilai terhadap metode yang telah digunakan
d) Evaluasi diagnosis
Bila evaluasi ini dilakukan sewaktu proses belajar berlangsung maka arahnya adalah untuk meneliti sebab-sebab kesulitan belajar siswa.
Dalam kegiatan evaluasi/penilaian hasil belajar siswa ada dua acuan Norma Relatif (relative norm referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Norma (PAN), dan Penilaian dengan Acuan Kriteria (criterian referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Patokan (PAP).
1) Dalam pendekatan PAN diasumsikan bahwa suatu populasi itu berdistrubusi normal, atau bahwa prestasi yang dicapai oleh para siswa itu dalam keadaan normal (guru, sarana, prasarana, social dan sebagainya).
Pada umumnya pendekatan PAN mendasar diri pada dua hal pokok sebelum memutuskn nilai akhir pengikut tes yaitu penetapan pengikut ujian/tes yang akan diluluskan dan penetapan batas lulus, dimana dalam hal ini masing-masing pengajar bisa menetapkan pilihannya.
2) Dalam pendekatan PAP penetapan batas lulus merupakan hal yang pokok. Penetapan batas kompensasi minimum yang diperlukan oleh seorang pengajar selnjutnya diterapkan hubungannya, antara derajat penguasaan kompetensi dengan nilai akhir yang diberikan.
Dengan pendekatan PAP pelaksanaannya tidak terlalu sulit, karena tanpa perhitungan statistic. Jika kompetensi yang ingin dicapai telah diidentifikasi dengan tuntas, dan tes yang akan dipergunakan memang benar-benar telah dapat vmengukur taraf kemampuan penguasaan kompetensi yang dimaksudkan, maka skor mentah hasil yang telah dihaluskan (dalam bentuk persentase) dapat langsung diterapkan ke dalam pedoman tersebut di atas.
2. Manajemen Peserta Didik
Manajemen Peserta Didik (Siswa) adalah seluruh poses kegiatan yang direncanakandan diusahakan secara sengaja serta pembinan secara kontinu terhadap seluruh peserta didik (dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan) agar dapat mengikuti proses belajar mengajar (PBM) secara afektif dan efisien, demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Manajemen peserta didik menunjuk pada kegiatan-kegiatan di luar kelas dan dalam kelas. Kegiatan-kegiatan di luar kelas meliputi:
1) Penerimaan peserta didik baru meliputi:
a. Penyusunan panitia beserta program kerjanya
b. Pendaftaran calon peserta didik (pengumuman, tempat, waktu, syarat, dan sebagainya)
c. Penyelesaian berdasarkan NEM dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I (satu/awal)
d. Pengumuinan calon yang diterima (termasuk cadangan)
e. Regristrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)
2) Pencatatan peserta didik baru dalam Buku Induk dan Buku Mapper.
a. Format buku Induk dan buku Mapper
b. Data yang diisikan (identitas, orangtua/wali, alamat dan sebagainya)
c. Kelengkapan data: foto copy surat / akta kelahiran, surat keterangan kesehatan dan sebagainya
d. Buku Mapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad
3) Pembagian seragam sekolah beserta kelengkapannya, seragram praktikum, seragam pramuka dengan tata tertib penggunaannya
4) Pembagian Kartu Anggota Osis beserta Tata Tertib sekolah yang harus dipatuhi (termasuk sanksi terhadap pelanggarnya)
5) Pembinaan peserta didik dan pembinaan kesejahteraan peserta didik
a. Kesejahteraan mental/spiritual (penyediaan tempat sembahyang, BP dan sebagainya)
b. Kesejahteraan fisik (sanitasi lingkungan, LTKS, keamanan, kenyamanan sekolah dan sebagainya)
c. Kesejahteraan akademik (tersedianya perpustakaan, laboratorium, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar, penasehat akademik dan sebagainya)
d. Organisasi (OSIS,PNM, Pecinta Alam,Koperasi, PKS dan sebagainya)
e. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, ekspresi, seni dan sebagainya)
f. Rekreasi, pertandingan persahabatn, acara tutup tahun, study tour dan sebagainya)
g. Orientasi studi dan pengenalan kampus, keakraban dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan di dalam kelas meliputi:
1) Pengelolaan kelas (menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya PBM)
2) Interaksi belajar mengajar yang positif.
3) Perhatian guru terhadap dinamika kelompok belajar, demi kelancaran CBSA.
4) Pemberian pengajaran remedial, bagi yang lambat belajar / yang memerlukan.
5) Pelaksanaan presensi secara kontinu.
6) Perhatianterhadap pelaksanaan tata tertib kelas.
7) Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib.
8) Pembentukan pengurus kelas dan pengorganisasian kelas.
9) Penyediaan alat/media belajar lainnya.
10) Penyediaan alat/bahan penunjang belajar lainya.
Pada hakekatnya, tujuan pembinaan dan pengembangan peserta didik itu sesuia dengan Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang tercantum dalam GBHN. Peserta didik sebagai kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional, harus dipersiapkan sebaik-baiknya serta dihindarkan dari segala kendala yang merusaknya, dengan memberikan bekal secukupnya dalam kepemimpinan Pancasila, pengetahuan, keteranpilan, kesgeran jasmani, keteguhan iman, kekuatan mental, patriotism, idealism, kepribadian nasional, kesadaran nasional, daya kreasi dan budi pekerti luhur serta penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kenakalan anak sebagai perbuatan anti social atau perbuatan penyelewengan/pelanggaran terhadap norma masyarakat yang dilakukan oleh anak/remaja tidak pernah luput dari perhatian kita. Hal tersebut harus ditangkal dan ditanggulangi dengan kebijakan-kebijakan pendidikan khususnya serta kebijakan-kebijakan lain pada umumnya secara menyeluruh dan terpadu. Penyelewengan norma kelompok yang bersifat anti social antara lain mencuri, pornografi dan pornoaksi, menggunakan narkoba, geng dan sebagainya.
Untuk menangkal dan menanggulangi kenakalan anak tersebut perludiketahui secara dini dan seksama tentang penyebab-penyebabnya seperti:
a) Faktor perkembangan jiwa pada periode pubertas
b) Factor lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
3. Manajemen Personel
Sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
 mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
 Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
 Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
4. Manajemen Anggaran/Biaya Pendidikan
Manajemen angggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang diencanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan bersunggunh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional sekolah/pendidikan, sehingga kegiatan operasianal pendidikan semakain efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang ditetapkan. Secaragaris besar kegiatannya meliputi pengumpulan/penerimaan dana, yang sah (dana rutin, SPP, sumbangan BP3, Donasi, dan usaha-usaha halal lainnya, penggunaaan dana, dan pertanggungjawaban dana kepada pihak-pihakterkait yang berwenang.
Dana yang datang/masuk itu disebut dana masukan (input) yang kemudian setelah dilakukan perencanaan anggaran (budgeting), lalu digunakan dalam pelaksanaan proses/operasional pendidikan (througgput), dan akhirnya dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku bersama hasil usaha (output) yang dihasilkannya.
Pada hakikatnya yang diadministrasikan oleh sekolah adalah anggaran/biaya pendidikan, bukan mengadministrasikan uangnya seperti yang dikelola oleh bank. Sebagai dasar hokum tata usaha keuangan negarayangtercantum dalam pasal 21 UUD 1945 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan bagaimana cara keuangan negara itu diurus dan dipertanggungjawabkan, diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara (dulu ICW = Indische Comptabilitiits Wet), keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku.
1. Beberapa kelengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraantata usaha keuangan sekolah.
a. Kutipan Daftar Isian (DIK) yang menyangkut perincian biaya bagi sekolah yang bersangkutan.
b. Buku regristrasi SPM (Surat Perintah Menguangkan) sebagai buku bantu yang berisi kolom-kolom.
c. Buku Bantu/Buku Harian (Buku Penolong) yang digunakan untuk melakukan pencatatan harian (pengeluaran/penerimaan)
d. Buku Kas Umum
Ada dua jenis Buku Kas Umum:
1) Buku Kas Umum berbentuk Skontro
2) Buku Kas Umum Tabelaris
2. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan dana penunjang Pendidikan (DPP)
3. Pemeriksaaan Kas oleh Atasan Langsung
Tata cara pemeriksaaan kas adalah sebagai berikut:
a. Prosedur Pemeriksaan Kas
b. Pembuatan berita Acara Pemeriksaaan Kas
5. Manajemen Hubungan Seolah Dengan Masyarakat (HUSEMAS)
Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publiknya, pada khususnya, sehingga kegiatan operasional sekolah/pendidikan semakin efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikanyang telah diterapkan. Pada hakikatnya sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, khususnya masyarakat publiknya seperti para orangtua murid/anggota Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), dan atasan langsungnya. Demikian pula hasil pendidikan pelaksanaan sekolah akan menjadi harapan bahkan dambaan masyarakat, maka kegiatan-kegoiatan sekolah juga harus terpadu dengan derap masyarakat. Sekolah juga menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua dan masyarakat. Tetapi orangtua hanya sebagai pembantu penyelenggara pendidikan, dan tidak berhak untuk mempengaruhi apalagi mengubah arah sasaran pendidikannya.
Secara lebih jelasnya maka HUSEMAS ini dapat dilihat dari fungsi, tujuan, manfaat dan bentuk-bentuk operasionalnya.
a. Fungsi pokok dari HUSEMAS adlah menarik simpati masyarakat pada umumnya serta public (masyarakat terdekat dan langsung terkait) khususnya sehingga meingkatkan relasi serta animo masyarakat terhadap sekolah.
b. Tujuan dari HUSEMAS adalah meningkatkan popularitas sekolah dimata masyarakat.
c. Manfaat dari HUSEMAS dengan demikian menambah simpati masyarakat yang dapat meningkatkan harga diri (prestis) sekolah.
d. Bebtruk-bentuk operasional dari HUSEMAS bisa bermacam-macam tergantung pada kreativitas sekolah, kondisi dan situasi sekolah, fasilitas dan sebagainya.
1) Dibidang sarana akademik
2) Dibidang prasarana
3) Dibidang social sekolah dengan masyarakat
4) Kegiatan karyawisata
e. Kegiatan olahraga dan kesenian juga daoat merupakan sarana HUSEMAS.
f. Menyediakan fasilitas sekolah untuk kepentingan masyarakat sekitar sepanjang tidak mengganggu kelancaran PBM.
g. Mengikut sertakan sivitas akademika sekolah dalam kegiatan masyarakat.
h. Mengikutsertakan tokoh, pemuka, pakar masyarakat dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sekolah.
i. Dan masih banyak lagi kegiatan operasional Husemas yang dapat dikreasikan sesuai situasi, kondisi, serta kemampuan pihak terkait.
6. Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlangsung begitu pesat pada masa sekarang vmenyebabkan guru tidak bisa melayani kebutuhan anak-anak akan informasi, dan guru-guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah.
Perpustakaan yang lengkap dam dikelola dengan baik memungkinkan peserta didik untuk lebih mengembangkan dan mendalami pengetahuan yang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di rumah. Di samping itu, juga memungkinkan guru untuk mengembangkan pengetahuan secara mandiri, dan juga dapat mengajar dengan metode, bervariasi misalnya belajar individual.







BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.













DAFTAR PUSTAKA
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,

nanagemen sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mengetahui komponen-komponen manajemen sekolah.
b. Menjelaskan kegiatan-kegiatan yang termasuk manajemen kurikulum.
c. Membuat satuan pelajaran untuk pokok bahasan bidang studi.
d. Membedakan penilaian dengan pendekatan PAN dan PAP.
e. Menjelaskan cara penerimaan siswa baru, perekrutan pegawai baru, pembinaan pegawai, pengelolaan SPP.
f. Menjelasakan tugas HUSEMAS.
g. Menjelaskan fungsi layanan khusus sekolah.
h. Meningkatkan mutu pendidikan.
3. Rumusan Masalah
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.





BABII
ISI
“MANAJEMEN KOMPONEN-KOMPONEN SEKOLAH”
1. Manajemen Kurikuum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
 pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
 bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
 pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Suksesnya PBM dapat ditunjang oleh sarana dan prasarana pendidikan, anggaran/biaya, tata laksana, organisasi, serta HUSEMAS, termasuk pula supervisi yang mantap. Secara operasional kegiatan administrasi/manajemen kurikulum itu dapat meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik, dan seluruh sivitas akademik atau warga sekolah/lembaga pendidikan.
Ada tiga jenis jadwal pelajaran untuk guru, yaitu:
a. Jadwal pelajaran kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
1) Jadwal pelajaran kurikuler disusun secara edukatif oleh guru/tim guru dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan akademik seperti:
a) Keseimbangan berat/ringan bobot pelajaran setiap hari
b) Pengaturan mata pelajaran mana yang pelu didahulukan/di tengah/di akhir pelajaran, seperti olahraga, matematika, kesenian, seni rupa, dan seterusnya.
c) Mata pelajaran yang bersifat praktikum/PKL/PPL dan sebagainya.
2) Jadwal pelajaran kokurikuler disusun secara strategic sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok pesrta didik/siswa sehimgga seperti tugas-tugas PR (pekerjaan Rumah) benar-benar dapat meningkatkan pemahaman, keterampilan, serta mencerna materi pelajaran secara efektif dan efisien.
3) Jadwal pelajaran ekstra-kurikuler disusun di luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler, biasanya bersifat pngembangan ekspresi hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti seni tari, seni music, cinta alam, palang merah remaja, dokter kecil, koperasi, pramuka, serta penunjang PBM lainya.
b. Jadwal pelajaran yang tatp muka dan non tatap muka.
Jadwal pelajaran tatap muka dalam kelas yang dibatasi empat dinding atau kelas yang berupa lapangan olahraga, pasar, lalu lintas, dan sebagainya.
Dalam kegiatan PBM (proses belajar mengajar) guru mempunyai tugas yang merupakan serangkaian kegiatan pengajaran/instruksional untuk mencapai hasil pengajaran yang optimal, yaitu:
a. Membuat persiapan/ perencanaan pengajaran (desain instruksional)
b. Melaksanakan pengajaran (termasuk pengelolaan kelas)
c. Mengevaluasi hasil pengajaran
Desain instruksional adalah suatu perencanaan pengajaran dianggap sebagai system yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai sesuatu tujuan. Bila salah satu komponen tidak berfungsi, maka seluruh system akan terganggu sehingga tujuan yang telahditetapkan tidak dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam evaluasi kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan atas 4 macam, yaitu:
a) Evaluasi formatif bagi siswa
1) Mengingat bahwa tujua belajar adalah belajar tuntas (mastery learning for), maka sebelum menguasai secara tuntas suatu materi pelajaran maka siswa dituntut lebih dulu menguasai satu kesatuan kecil sebelum kesatuan berikutnya.
2) Sebagai diagnose kesulitan belajar dan cara mengatasinya misalnya dengan usaha remidi.
b) Evaluasi formatif bagi pengajaran
1) Sebagai umpan balik keberhasilan dalam mengelola kegiatan mengajar untuk mengetahui seberapa materi yang telah/belum dikuasai para mahasiswa.
2) Dapat meramalkan sejauh mana evaluasi sumatif siswanya nanti, sehingga evaluasi formatif dan sumatif berhubungan erat.
c) Evaluasi sumatif
1) Sebagai alat pembanding keterampilan dan kecakapn antara siswa yang satu dengan lainya (sampai menentukan rangkingnya)
2) Sebagai bahan untuk meramal penyelesaian studi siswa
3) Sebagai umpan balik bagi siswa sendiri
4) Sebagai bahan penilai terhadap metode yang telah digunakan
d) Evaluasi diagnosis
Bila evaluasi ini dilakukan sewaktu proses belajar berlangsung maka arahnya adalah untuk meneliti sebab-sebab kesulitan belajar siswa.
Dalam kegiatan evaluasi/penilaian hasil belajar siswa ada dua acuan Norma Relatif (relative norm referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Norma (PAN), dan Penilaian dengan Acuan Kriteria (criterian referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Patokan (PAP).
1) Dalam pendekatan PAN diasumsikan bahwa suatu populasi itu berdistrubusi normal, atau bahwa prestasi yang dicapai oleh para siswa itu dalam keadaan normal (guru, sarana, prasarana, social dan sebagainya).
Pada umumnya pendekatan PAN mendasar diri pada dua hal pokok sebelum memutuskn nilai akhir pengikut tes yaitu penetapan pengikut ujian/tes yang akan diluluskan dan penetapan batas lulus, dimana dalam hal ini masing-masing pengajar bisa menetapkan pilihannya.
2) Dalam pendekatan PAP penetapan batas lulus merupakan hal yang pokok. Penetapan batas kompensasi minimum yang diperlukan oleh seorang pengajar selnjutnya diterapkan hubungannya, antara derajat penguasaan kompetensi dengan nilai akhir yang diberikan.
Dengan pendekatan PAP pelaksanaannya tidak terlalu sulit, karena tanpa perhitungan statistic. Jika kompetensi yang ingin dicapai telah diidentifikasi dengan tuntas, dan tes yang akan dipergunakan memang benar-benar telah dapat vmengukur taraf kemampuan penguasaan kompetensi yang dimaksudkan, maka skor mentah hasil yang telah dihaluskan (dalam bentuk persentase) dapat langsung diterapkan ke dalam pedoman tersebut di atas.
2. Manajemen Peserta Didik
Manajemen Peserta Didik (Siswa) adalah seluruh poses kegiatan yang direncanakandan diusahakan secara sengaja serta pembinan secara kontinu terhadap seluruh peserta didik (dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan) agar dapat mengikuti proses belajar mengajar (PBM) secara afektif dan efisien, demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Manajemen peserta didik menunjuk pada kegiatan-kegiatan di luar kelas dan dalam kelas. Kegiatan-kegiatan di luar kelas meliputi:
1) Penerimaan peserta didik baru meliputi:
a. Penyusunan panitia beserta program kerjanya
b. Pendaftaran calon peserta didik (pengumuman, tempat, waktu, syarat, dan sebagainya)
c. Penyelesaian berdasarkan NEM dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I (satu/awal)
d. Pengumuinan calon yang diterima (termasuk cadangan)
e. Regristrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)
2) Pencatatan peserta didik baru dalam Buku Induk dan Buku Mapper.
a. Format buku Induk dan buku Mapper
b. Data yang diisikan (identitas, orangtua/wali, alamat dan sebagainya)
c. Kelengkapan data: foto copy surat / akta kelahiran, surat keterangan kesehatan dan sebagainya
d. Buku Mapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad
3) Pembagian seragam sekolah beserta kelengkapannya, seragram praktikum, seragam pramuka dengan tata tertib penggunaannya
4) Pembagian Kartu Anggota Osis beserta Tata Tertib sekolah yang harus dipatuhi (termasuk sanksi terhadap pelanggarnya)
5) Pembinaan peserta didik dan pembinaan kesejahteraan peserta didik
a. Kesejahteraan mental/spiritual (penyediaan tempat sembahyang, BP dan sebagainya)
b. Kesejahteraan fisik (sanitasi lingkungan, LTKS, keamanan, kenyamanan sekolah dan sebagainya)
c. Kesejahteraan akademik (tersedianya perpustakaan, laboratorium, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar, penasehat akademik dan sebagainya)
d. Organisasi (OSIS,PNM, Pecinta Alam,Koperasi, PKS dan sebagainya)
e. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, ekspresi, seni dan sebagainya)
f. Rekreasi, pertandingan persahabatn, acara tutup tahun, study tour dan sebagainya)
g. Orientasi studi dan pengenalan kampus, keakraban dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan di dalam kelas meliputi:
1) Pengelolaan kelas (menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya PBM)
2) Interaksi belajar mengajar yang positif.
3) Perhatian guru terhadap dinamika kelompok belajar, demi kelancaran CBSA.
4) Pemberian pengajaran remedial, bagi yang lambat belajar / yang memerlukan.
5) Pelaksanaan presensi secara kontinu.
6) Perhatianterhadap pelaksanaan tata tertib kelas.
7) Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib.
8) Pembentukan pengurus kelas dan pengorganisasian kelas.
9) Penyediaan alat/media belajar lainnya.
10) Penyediaan alat/bahan penunjang belajar lainya.
Pada hakekatnya, tujuan pembinaan dan pengembangan peserta didik itu sesuia dengan Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang tercantum dalam GBHN. Peserta didik sebagai kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional, harus dipersiapkan sebaik-baiknya serta dihindarkan dari segala kendala yang merusaknya, dengan memberikan bekal secukupnya dalam kepemimpinan Pancasila, pengetahuan, keteranpilan, kesgeran jasmani, keteguhan iman, kekuatan mental, patriotism, idealism, kepribadian nasional, kesadaran nasional, daya kreasi dan budi pekerti luhur serta penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kenakalan anak sebagai perbuatan anti social atau perbuatan penyelewengan/pelanggaran terhadap norma masyarakat yang dilakukan oleh anak/remaja tidak pernah luput dari perhatian kita. Hal tersebut harus ditangkal dan ditanggulangi dengan kebijakan-kebijakan pendidikan khususnya serta kebijakan-kebijakan lain pada umumnya secara menyeluruh dan terpadu. Penyelewengan norma kelompok yang bersifat anti social antara lain mencuri, pornografi dan pornoaksi, menggunakan narkoba, geng dan sebagainya.
Untuk menangkal dan menanggulangi kenakalan anak tersebut perludiketahui secara dini dan seksama tentang penyebab-penyebabnya seperti:
a) Faktor perkembangan jiwa pada periode pubertas
b) Factor lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
3. Manajemen Personel
Sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
 mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
 Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
 Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
4. Manajemen Anggaran/Biaya Pendidikan
Manajemen angggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang diencanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan bersunggunh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional sekolah/pendidikan, sehingga kegiatan operasianal pendidikan semakain efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang ditetapkan. Secaragaris besar kegiatannya meliputi pengumpulan/penerimaan dana, yang sah (dana rutin, SPP, sumbangan BP3, Donasi, dan usaha-usaha halal lainnya, penggunaaan dana, dan pertanggungjawaban dana kepada pihak-pihakterkait yang berwenang.
Dana yang datang/masuk itu disebut dana masukan (input) yang kemudian setelah dilakukan perencanaan anggaran (budgeting), lalu digunakan dalam pelaksanaan proses/operasional pendidikan (througgput), dan akhirnya dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku bersama hasil usaha (output) yang dihasilkannya.
Pada hakikatnya yang diadministrasikan oleh sekolah adalah anggaran/biaya pendidikan, bukan mengadministrasikan uangnya seperti yang dikelola oleh bank. Sebagai dasar hokum tata usaha keuangan negarayangtercantum dalam pasal 21 UUD 1945 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan bagaimana cara keuangan negara itu diurus dan dipertanggungjawabkan, diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara (dulu ICW = Indische Comptabilitiits Wet), keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku.
1. Beberapa kelengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraantata usaha keuangan sekolah.
a. Kutipan Daftar Isian (DIK) yang menyangkut perincian biaya bagi sekolah yang bersangkutan.
b. Buku regristrasi SPM (Surat Perintah Menguangkan) sebagai buku bantu yang berisi kolom-kolom.
c. Buku Bantu/Buku Harian (Buku Penolong) yang digunakan untuk melakukan pencatatan harian (pengeluaran/penerimaan)
d. Buku Kas Umum
Ada dua jenis Buku Kas Umum:
1) Buku Kas Umum berbentuk Skontro
2) Buku Kas Umum Tabelaris
2. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan dana penunjang Pendidikan (DPP)
3. Pemeriksaaan Kas oleh Atasan Langsung
Tata cara pemeriksaaan kas adalah sebagai berikut:
a. Prosedur Pemeriksaan Kas
b. Pembuatan berita Acara Pemeriksaaan Kas
5. Manajemen Hubungan Seolah Dengan Masyarakat (HUSEMAS)
Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publiknya, pada khususnya, sehingga kegiatan operasional sekolah/pendidikan semakin efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikanyang telah diterapkan. Pada hakikatnya sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, khususnya masyarakat publiknya seperti para orangtua murid/anggota Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), dan atasan langsungnya. Demikian pula hasil pendidikan pelaksanaan sekolah akan menjadi harapan bahkan dambaan masyarakat, maka kegiatan-kegoiatan sekolah juga harus terpadu dengan derap masyarakat. Sekolah juga menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua dan masyarakat. Tetapi orangtua hanya sebagai pembantu penyelenggara pendidikan, dan tidak berhak untuk mempengaruhi apalagi mengubah arah sasaran pendidikannya.
Secara lebih jelasnya maka HUSEMAS ini dapat dilihat dari fungsi, tujuan, manfaat dan bentuk-bentuk operasionalnya.
a. Fungsi pokok dari HUSEMAS adlah menarik simpati masyarakat pada umumnya serta public (masyarakat terdekat dan langsung terkait) khususnya sehingga meingkatkan relasi serta animo masyarakat terhadap sekolah.
b. Tujuan dari HUSEMAS adalah meningkatkan popularitas sekolah dimata masyarakat.
c. Manfaat dari HUSEMAS dengan demikian menambah simpati masyarakat yang dapat meningkatkan harga diri (prestis) sekolah.
d. Bebtruk-bentuk operasional dari HUSEMAS bisa bermacam-macam tergantung pada kreativitas sekolah, kondisi dan situasi sekolah, fasilitas dan sebagainya.
1) Dibidang sarana akademik
2) Dibidang prasarana
3) Dibidang social sekolah dengan masyarakat
4) Kegiatan karyawisata
e. Kegiatan olahraga dan kesenian juga daoat merupakan sarana HUSEMAS.
f. Menyediakan fasilitas sekolah untuk kepentingan masyarakat sekitar sepanjang tidak mengganggu kelancaran PBM.
g. Mengikut sertakan sivitas akademika sekolah dalam kegiatan masyarakat.
h. Mengikutsertakan tokoh, pemuka, pakar masyarakat dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sekolah.
i. Dan masih banyak lagi kegiatan operasional Husemas yang dapat dikreasikan sesuai situasi, kondisi, serta kemampuan pihak terkait.
6. Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlangsung begitu pesat pada masa sekarang vmenyebabkan guru tidak bisa melayani kebutuhan anak-anak akan informasi, dan guru-guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah.
Perpustakaan yang lengkap dam dikelola dengan baik memungkinkan peserta didik untuk lebih mengembangkan dan mendalami pengetahuan yang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di rumah. Di samping itu, juga memungkinkan guru untuk mengembangkan pengetahuan secara mandiri, dan juga dapat mengajar dengan metode, bervariasi misalnya belajar individual.







BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.













DAFTAR PUSTAKA
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,


STEP RESPON SISTEM ORDE DUA (2)

STEP RESPON SISTEM ORDE DUA (2)
TUGAS PRAKTEK KE – 3
PRAKTEK SISTEM LINIER








Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktek Mata Kuliah Praktek Sistem Linier
Dosen Pengampu : Drs. Herdi Saputra, M.Pd

Tanggal Praktek : 8 Oktober 2009


Disusun Oleh :
Nama : YOHANES CATUR WIBOWO
NIM : 5301407024
Prodi. : Pendidikan Teknik Elektro, S1


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009

1. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :



















 Gambar Grafik :






















2. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :



















 Gambar Grafik :






















3. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :





















 Gambar Grafik :




















4. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :




















 Gambar Grafik :





















Secara Umum Dengan Menggunakan Bus Creator





















Gambar Grafik :





STEP RESPON SISTEM ORDE DUA (2)
TUGAS PRAKTEK KE – 3
PRAKTEK SISTEM LINIER








Disusun Guna Memenuhi Tugas Praktek Mata Kuliah Praktek Sistem Linier
Dosen Pengampu : Drs. Herdi Saputra, M.Pd

Tanggal Praktek : 8 Oktober 2009


Disusun Oleh :
Nama : YOHANES CATUR WIBOWO
NIM : 5301407024
Prodi. : Pendidikan Teknik Elektro, S1


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009

1. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :



















 Gambar Grafik :






















2. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :



















 Gambar Grafik :






















3. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :





















 Gambar Grafik :




















4. Step  Transfer Function  Scope






 Parameter :




















 Gambar Grafik :





















Secara Umum Dengan Menggunakan Bus Creator





















Gambar Grafik :

MEMENFAATKAN CONTINUOUS

Tugas ke-2
PRAKTEK SISTEM LINIER
MEMENFAATKAN CONTINUOUS
Dosen Pengampu : Drs. Herdi Saputra













Disusun Oleh :

Nama : Yusuf Anto
NIM : 5301407033
Prodi. : Pendidikan Teknik Elektro, S1
Dikumpulkan : Tanggal 1 Oktober 2009


JURUSAN TEKNIK ELEKTRO
FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2009




1. Pulse Generator-Derivative/Integrator/Transfer Fcn-Scope
1) Gambar

2) Bentuk Kurva

a. Pulse Generator-Derivative –Scope

b. Pulse Generator- Integrator –Scope

c. Pulse Generator- Transfer Fcn-Scope


2. Ramp-Derivative/Integrator/Transfer Fcn-Scope
1) Gambar

2) Bentuk Kurva

a. Ramp-Derivative –Scope

b. Ramp- Integrator –Scope

c. Ramp- Transfer Fcn-Scope


3. Random Number-Derivative/Integrator/Transfer Fcn-Scope
1) Gambar


2) Bentuk Kurva

a. Random Number-Derivative –Scope

b. Random Number- Integrator –Scope

c. Random Number- Transfer Fcn-Scope


4. Sine Wave-Derivative/Integrator/Transfer Fcn-Scope
1) Gambar

2) Bentuk Kurva

a. Sine Wave-Derivative –Scope

b. Sine Wave- Integrator –Scope

c. Sine Wave- Transfer Fcn-Scope

STUDI PENGARUH PENEMPATAN ARRESTER TERHADAP EFEKTIVITAS PROTEKSI TRANSFORMATOR DISTRIBUSI 20 kV PADA GARDU TRANSFORMATOR TIANG

STUDI PENGARUH PENEMPATAN ARRESTER TERHADAP EFEKTIVITAS PROTEKSI TRANSFORMATOR DISTRIBUSI 20 kV PADA GARDU TRANSFORMATOR TIANG

LATAR BELAKANG MASALAH

A. Pengertian Transformator

Transformator/ Transformer / Trafo adalah suatu peralatan listrik yang termasuk dalam klasifikasi mesin listrik statis dan berfungsi untuk menyalurkan tenaga/daya listrik dari tegangan tinggi ke tegangan rendah atau sebaliknya, dengan frekuensi sama. Dalam pengoperasiannya, transformator-transformator tenaga pada umumnya ditanahkan pada titik netral, sesuai dengan kebutuhan untuk sistem pengamanan atau proteksi. Sebagai contoh transformator 150/70 kV ditanahkan secara langsung di sisi netral 150 kV, dan transformator 70/20 kV ditanahkan dengan tahanan di sisi netral 20 kV nya. Transformator yang telah diproduksi terlebih dahulu melalui pengujian sesuai standar yang telah ditetapkan.
Dasar dari teori transformator adalah sebagai berikut :
“Apabila ada arus listrik bolak-balik yang mengalir mengelilingi suatu inti besi maka inti besi itu akan berubah menjadi magnit dan apabila magnit tersebut dikelilingi oleh suatu belitan maka pada kedua ujung belitan tersebut akan terjadi beda tegangan mengelilingi magnit, sehingga akan timbul gaya gerak listrik (GGL)”.

Suatu transformator terdiri atas beberapa bagian, yaitu:
• Bagian utama transformator
• Peralatan Bantu
• Peralatan Proteksi
1. Bagian utama transformator, terdiri dari:
a) Inti besi
Inti besi berfungsi untuk mempermudah jalan fluks, yang ditimbulkan oleh arus listrik yang melalui kumparan. Dibuat dari lempengan-lempengan besi tipis yang berisolasi, untuk mengurangi panas (sebagai rugi-rugi besi) yang ditimbulkan oleh arus pusar atau arus eddy (eddy current).
b) Kumparan transformator
Beberapa lilitan kawat berisolasi membentuk suatu kumparan, dan kumparan tersebut diisolasi, baik terhadap inti besi maupun terhadap kumparan lain dengan menggunakan isolasi padat seperti karton, pertinax dan lain-lain. Pada transformator terdapat kumparan primer dan kumparan sekunder. Jika kumparan primer dihubungkan dengan tegangan/arus bolak-balik maka pada kumparan tersebut timbul fluks yang menimbulkan induksi tegangan, bila pada rangkaian sekunder ditutup (rangkaian beban) maka mengalir arus pada kumparan tersebut, sehingga kumparan ini berfungsi sebagai alat transformasi tegangan dan arus.
c) Kumparan tertier
Fungsi kumparan tertier diperlukan adalah untuk memperoleh tegangan tertier atau untuk kebutuhan lain. Untuk kedua keperluan tersebut, kumparan tertier selalu dihubungkan delta atau segitiga. Kumparan tertier sering digunakan juga untuk penyambungan peralatan bantu seperti kondensator synchrone, kapasitor shunt dan reactor shunt, namun demikian tidak semua transformator daya mempunyai kumparan tertier.
d) Minyak transformator
Sebagian besar dari transformator tenaga memiliki kumparan-kumparan yang intinya direndam dalam minyak transformator, terutama pada transformator transformator tenaga yang berkapasitas besar, karena minyak transformator mempunyai sifat sebagai media pemindah panas (disirkulasi) dan juga berfungsi pula sebagai isolasi (memiliki daya tegangan tembus tinggi) sehingga berfungsi sebagai media pendingin dan isolasi.
Minyak transformator harus memenuhi persyaratan, yaitu:
• kekuatan isolasi tinggi
• penyalur panas yang baik, berat jenis yang kecil, sehingga partikel-partikel dalam minyak dapat mengendap dengan cepat
• viskositas yang rendah, agar lebih mudah bersirkulasi dan memiliki kemampuan pendinginan menjadi lebih baik
• titik nyala yang tinggi dan tidak mudah menguap yang dapat menimbulkan baha
• tidak merusak bahan isolasi padat
• sifat kimia yang stabil
Minyak transformator baru harus memiliki spesifikasi seperti tampak pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Spesifikasi Minyak Isolasi Baru.

Untuk minyak isolasi pakai berlaku untuk transformator berkapasitas > 1 MVA atau bertegangan > 30 kV sifatnya seperti ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Spesifikasi Minyak Isolasi Pakai.


e) Bushing
Hubungan antara kumparan transformator ke jaringan luar melalui sebuah bushing, yaitu sebuah konduktor yang diselubungi oleh isolator, yang sekaligus berfungsi sebagai penyekat antara konduktor tersebut dengan tangki transformator.
f) Tangki dan konservator
Pada umumnya bagian-bagian dari transformator yang terendam minyak transformator berada atau (ditempatkan) di dalam tangki. Untuk menampung pemuaian pada minyak transformator, pada tangki dilengkapi dengan sebuah konservator.
Terdapat beberapa jenis tangki, diantaranya adalah:
Jenis sirip (tank corrugated) Badan tangki terbuat dari pelat baja bercanai dingin yang menjalani penekukan, pemotongan dan proses pengelasan otomatis, untuk membentuk badan tangki bersirip dengan siripnya berfungsi sebagai radiator pendingin dan alat bernapas pada saat yang sama. Tutup dan dasar tangki terbuat dari plat baja bercanai panas yang kemudian dilas sambung kepada badan tangki bersirip membentuk tangki corrugated ini. Umumnya transformator di bawah 4000 kVA dibuat dengan bentuk tangki corrugated.
Jenis tangki Conventional Beradiator, Jenis tangki terdiri dar badan tangki dan tutup yang terbuat dari mild steel plate (plat baja bercanai panas) ditekuk dan dilas untuk dibangun sesuai dimensi yang diinginkan, sedang radiator jenis panel terbuat dari pelat baja bercanai dingin (cold rolled steel sheets). Transformator ini umumnya dilengkapi dengan konservator dan digunakan untuk 25.000,00 kVA, yang ditunjukkan pada Gambar 2.


Gambar 2. Transformator Tipe Conventional Beradiator (Sumber Trafindo, 2005)
Hermatically Sealed Tank With N2 Cushined, Tipe tangki ini sama dengan jenis conventional tetapi di atas permukaan minyak terdapat gas nitrogen untuk mencegah kontak antara minyak dengan udara luar
2. Peralatan Bantu
a) Pendingin
Pada inti besi dan kumparan-kumparan akan timbul panas akibat rugi-rugi besi dan rugi-rugi tembaga. Bila panas tersebut mengakibatkan kenaikan suhu yang berlebihan, akan merusak isolasi transformator, maka untuk mengurangi adanya kenaikan suhu yang berlebihan tersebut pada transformator perlu juga dilengkapi dengan sistem pendingin yang bergungsi untuk menyalurkan panas keluar transformator. Media yang digunakan pada sistem pendingin dapat berupa
udara, gas, minyak dan air.
Sistem pengalirannya (sirkulasi) dapat dengan cara:
• Alamiah (natural)
• Tekanan/paksaan (forced).

Tabel 3. Tipe Pendinginan Transformator
keterangan: A = air (udara), O = Oil (minyak), N = Natural (alamiah), F = Forced (Paksaan / tekanan)
b) Tap Changer (perubah tap)
Tap Changer adalah perubah perbandingan transformator untuk mendapatkan tegangan operasi sekunder sesuai yang diinginkan dari tegangan jaringan/primer yang berubah-ubah. Tap changer dapat dilakukan baik dalam keadaan berbeban (on-load) atau dalam keadaan tak berbeban (off load), dan tergantung jenisnya.
c) Alat pernapasan
Karena adanya pengaruh naik turunnya beban transformator maupun suhu udara luar, maka suhu minyak akan berubah-ubah mengikuti keadaan tersebut. Bila suhu minyak tinggi, minyak akan memuai dan mendesak udara di atas permukaan minyak keluar dari dalam tangki, sebaliknya bila suhu minyak turun, minyak menyusut maka udara luar akan masuk ke dalam tangki. Kedua proses di atas disebut pernapasan transformator. Permukaan minyak transformator akan selalu bersinggungan dengan udara luar yang menurunkan nilai tegangan tembus pada minyak transformator, maka untuk mencegah hal tersebut, pada ujung pipa penghubung udara luar dilengkapi tabung berisi kristal zat hygroscopis.
d) Indikator
Untuk mengawasi selama transformator beroperasi, maka perlu adanya indicator yang dipasang pada transformator. Indikator tersebut adalah sebagai berikut:
• indikator suhu minyak
• indikator permukaan minyak
• indikator sistem pendingin
• indikator kedudukan tap, dan sebagainya.
3. Peralatan Proteksi
a) Relay Bucholz
Relay Bucholz adalah relai yang berfungsi mendeteksi dan mengamankan terhadap gangguan transformator yang menimbulkan gas.
Timbulnya gas dapat diakibatkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah:
• Hubung singkat antar lilitan pada atau dalam phasa
• Hubung singkat antar phasa
• Hubung singkat antar phasa ke tanah
• Busur api listrik antar laminasi
• Busur api listrik karena kontak yang kurang baik.
b) Relai Tekanan Lebih
Relai ini berfungsi hampir sama seperti Relay Bucholz. Fungsinya adalah mengamankan terhadap gangguan di dalam transformator. Bedanya relai ini hanya bekerja oleh kenaikan tekanan gas yang tiba-tiba dan langsung mentripkan pemutus tenaga (PMT). Alat pengaman tekanan lebih ini berupa membran yang terbuat dari kaca, plastik, tembaga atau katup berpegas, sebagai pengaman tangki transformator terhadap kenaikan tekan gas yang timbul di dalam tangki yang akan pecah pada tekanan tertentu dan kekuatannya lebih rendah dari kekuatan tangki transformator
c) Relai Diferensial
Berfungsi mengamankan transformator terhadap gangguan di dalam transformator, antara lain adalah kejadian flash over antara kumparan dengan kumparan atau kumparan dengan tangki atau belitan dengan belitan di dalam kumparan ataupun beda kumparan.
d) Relai Arus lebih
Berfungsi mengamankan transformator jika arus yang mengalir melebihi dari nilai yang diperkenankan lewat pada transformator tersebut dan arus lebih ini dapat terjadi oleh karena beban lebih atau gangguan hubung singkat. Arus lebih ini dideteksi oleh transformator arus atau current transformator (CT).
e) Relai Tangki Tanah
Alat ini berfungsi untuk mengamankan transformator bila ada hubung singkat antara bagian yang bertegangan dengan bagian yang tidak bertegangan pada transformator.
f) Relai Hubung Tanah
Fungsi alat ini adalah untuk mengamankan transformator jika terjadi gangguan hubung singkat satu phasa ke tanah.
g) Relai Thermis
Alat ini berfungsi untuk mencegah/mengamankan transformator dari kerusakan isolasi pada kumparan, akibat adanya panas lebih yang ditimbulkan oleh arus lebih. Besaran yang diukur di dalam relai ini adalah kenaikan suhu.

B. Teori Dasar Sistem distribusi tenaga listrik

Sistem tenaga listrik terdiri atas tiga bagianutama yaitu, sistem pembangkitan, sistem transmisidan sistem distribusi. Dari ketiga sistem tersebutsistem distribusi merupakan bagian yang letaknya paling dekat dengan konsumen, fungsinya adalah menyalurkan energi listrik dari suatu Gardu Induk distribusi ke konsumen.

Adapun bagian-bagian dari sistem distribusi tenaga listrik adalah:

1. Gardu Induk Distribusi

2. Jaringan Primer (JTM)

3. Transformator Distribusi

4. Jaringan Sekunder (JTR)

PEMBAHASAN

Dalam operasi sistem tenaga listrik terjadinya gangguan tidak dapat dihindarkan. Gangguan terjadi dapat dikarenakan karenakan adanya kejadian secara acak dalam sistem yang dapat berupa berkurangnya kemampuan peralatan, meningkatnya beban dan lepasnya peralatan-peralatan yang tersambung ke sistem.

Gangguan yang sering terjadi pada saluran distribusi adalah gangguan hubung singkat satu fasa ke tanah yang sifatnya temporer, sehingga untuk mengatasinya digunakan Ground Fault Relay (GFR) sebagai pendeteksi gangguan yang dikoordinasikan dengan Recloser . Sehubungan dengan banyaknya kawat netral yang terputus dikhawatirkan akan berakibat pada mengecilnya arus gangguan sampai dibawah nilai arus setting GFR sehingga, peralatan proteksi tidak akan bekerja saat terjadi gangguan dan ini sangat berbahaya bagi keselamatan manusia dan lingkungan.

Sehubungan dengan permasalahan dan kendala itulah, dikukan analisis mengenai dampak putusnya kawat netral terhadap Jaringan Tegangan Menengah 20 kV, dengan tujuan ingin mengetahui sejauh mana penurunan arus gangguan hubung singkat satu fasa ke tanah dan dampaknya terhadap tegangan pelayanan yang diakibatkan oleh putusnya kawat netral dan selanjutnya memberikan alternatif upaya tindakan yang mungkin bisa dilakukan guna mengatasi permasalahan yang sedang di hadapi.

Diterapkannya empat sistem penempatan arrester pada gardu trafo tiang (GTT) yang mempunyai tujuan dan fungsi yang sama tetapi memiliki cara pengawatan yang berbeda, menimbulkan ketidakpastian tentang efektivitasnya dalam melindungi trafo dari tegangan lebih yang disebabkan surja petir. Suatu sistem penempatan arrester yang efektif diharapkan untuk diterapkan pada GTT. Dengan demikian perlu dilakukan analisis lebih lanjut mengenai sistem penempatan arrester tersebut.

Analisis terhadap empat sistem penempatan arrester bertujuan untuk mendapatkan suatu sistem penempatan arrester yang efektif sebagai proteksi trafo distribusi pada GTT. Metode pantulan berulang gelombang surja yang biasa diwujudkan dalam bentuk diagram tangga sebagai analisisnya sangat sesuai untuk mengamati jejak dari pemantulan gelombang surja pada saluran dari system penempatan arrester, dengan metode ini selanjutnya akan didapatkan nilai tegangan surja petir tertinggi yang terjadi pada arrester dan trafo serta arus surja petir tertinggi yang mengalir pada kawat lebur dari pelebur/CO pada masing-masing sistem penempatan arrester.

Hasil analisis menunjukkan bahwa: sistem-1 dan 3 memiliki nilai tegangan surja yang sama dan lebih rendah dari sistem-2 dan 4, yaitu sebesar 99,98 % pada arrester dan 95,3 % pada trafo sedangkan sistem-2 sebesar 182,07 % dan sistem-4 sebesar 116,94 % baik pada arrester mupun pada trafo. Tegangan surja yang tinggi pada arrester dapat memperpendek umur kerja dari arrester tersebut, karena pada kondisi ini arrester akan bekerja lebih berat untuk melindungi trafo dari tegangan surja tersebut. Arus surja yang terjadi pada kawat lebur untuk sistem-1 bernilai paling kecil dibandingkan sistem yang lain, yaitu sebesar 0,0189 % sedangkan sistem-2 sebesar 0,2236 %, sistem-3 sebesar 0,4058 %, dan sistem-4 sebesar 0,0233 %. Arus surja ini menimbulkan energi petir yang tidak sampai memutuskan kawat lebur dari CO pada sistem-1 dan 4 tetapi memutuskan kawat lebur dari CO pada sistem-2 dan 3.

KESIMPULAN

Akhirnya dari hasil analisis tersebut didapatkanlah sistem-1 sebagai sistem penempatan arrester yang efektif pada GTT sebagai proteksi trafo dari tegangan lebih yang disebabkan surja petir.

TUGAS SISTEM PROTEKSI

STUDI PENGARUH PENEMPATAN ARRESTER TERHADAP EFEKTIVITAS PROTEKSI TRANSFORMATOR DISTRIBUSI 20 kV PADA GARDU TRANSFORMATOR TIANG

unnes


Disusun Guna Memenuhi Tugas Sistem Proteksi

Dosen Pengampu : Drs. Sutarno

Tanggal Pengumpulan: 16 Desember 2009

Disusun Oleh :

Nama : YOHANES CATUR WIBOWO

NIM : 5301407024

Prodi. : Pendidikan Teknik Elektro, S1

JURUSAN TEKNIK ELEKTRO

FAKULTAS TEKNIK

UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG

2009