Rabu, 16 Desember 2009

filsafat ilmu

Ilmu-ilmu kemanusiaan harus menggunaan konsep-konsep yang sesuai dengan obyeknya, yaitu : manusia. Setiap tindakannya mempunyi motif yang harus di bedakan dengan penyebab-penyebab yang bekerja semata-mata di luar. Jika manusia, bedasarkan pengalamannya sendiri tahu tentang dirinya sendiri sebagai subyek, maka semua perilaku dan tindakannya menentukan kerangka metodis objek ilmu kemanusiaan.

Permasalahan yang mungkin timbul dalam ilmu-ilmu kemanusiaan adalah mengenai sahih tidaknya ilmu-ilmu manusia terus berbicara tentang penelitian-penelitian yang positif atau yang negative terhadap perilaku manusia. Problem yang lain akan timbul apabila sasaranya adalah masalah praktis. Dengan mengabaikan metode yang di gunakan, permaalahan praktis mengetengahkan hal-hal yng berhubungan dengan struktur-struktur social dan perilaku manusia yang tertentu.

Permasalahan yang praktis yang berorientasi kepada nilai etis itu menjadi alasan utama untuk perlunya bebas nilai bagi ilmu sebagai teori. Pandangan beranggapan bahwa ilmu itu tidak boleh memperhatikan nilai-nilai. Ilmu itu harus hanya mengkostatasi hubungan kausal dan fungsional. Jika hubungan itu hendak di gunakan untuk tujuan tertentu, maka pertibangan yang di pakai haruslah ada di luar ilmu. Untuk itu diperlukan sarana-sarana yang dapat diabndalkan. Sarana-sarana itu juga harus bersifat netral. Kenetralan itu tidak boleh “tercemar” oleh pertimbangan-pertimbangan nilai yang membahayakan obyektifitas.

Telaah yang berkenan dengan ilmu social, boleh dipandang sama dengan yang terjadi dengan pengetahuan alam dan teknologi. Ilmu pengetahuan dan alm menjelaskan secara teknis hal-hal yang dapat dikerjakan / dilaksanakan. Tetapi ilmu pengetahuan alam dan teknologi tidak menjelaskan dan tidak menjawab apakah hal-hal itu harusnya dilaksanakan. Mugkin ada pertanyaan : “Apakah ada, dalam teknologi yang dapat memusnahkan manusia, terdapat peranan pertimbangan-pertimbangan etis?” Atau: “Bagaimana satu-satunya pertimbangan etis yang memungkinkan dikembangkannya teknologi yang obyektif untuk memusnahkan manusia?” Masalah yang lain lagi: “Penelitian obyektif yang bagai manakah yang dapat dilaksanakan untuk menemukan obat yang sangat manjur dan bagaimanakah hingga kini tidak pernah dapat di sembuhkan?” Dari uraian tersebut gaknya diperoleh penompangan bagi pendirian tentang perlunya ilmu itu harus bebas nilai.

Khusus untuk ilmu social, berkenaan dengan paragraph di atas, dapat dikemukakan pertanyaan sebagai berikut: “Apakah usaha kita bakal berujung pada penyingkiran semua pertimbangan nilai yang selama ini merupakan unsure-unsur intrinsic dalam ilmu-ilmu kemanusiaan?”. Pertanyaan ini ditindak dilanjuti dengan penggunaan distingsi mengenai dua hal, yaitu: pertimbangan nilai dan cra fungsinya.

Terlebih dahulu perlu dijelaskan pengertian nilai etis, nilai lain, dan pertimbamg-pertimbangannya. Dalam hubungan dengan nilai etis, ada satu hal diperlukan menjadi dasarnaya, yaitu norma. Pda nilai etis, norma yang menjadi dasarnya adalh norma yang tidak bergantung pada nilai lain. Misalnya, jika ada sesuatu yang dipandang sebgai indah atau menyenagkan, berguna atau sehat, maka pandangan tersebu bersumber pada nilai. Dalam hal demikian, yang dapat digunakan adalah norma (norna indah adalah X dan bukan non-X). jika suatu barang dinyatakan mempunyai kegunaan ekonomis, maka pertanyaan bersumber dari nilai dan yang digunakan untuk bertola adalah norma, bahwa kegunaan ekonomis itu didasarkan pada norma Y, dan bukan non-Y. Pertimbangan nilai memiliki sifatyang mutlak.

Pelbagai nilai bersumber pada nilai etis. Karena itu, nilai-nilai lain tidak bakal berbead dengan nilai etis. Jika mempersalahkan sesuatu menurut nilai tertentu, maka pertimbangannya tidak lain dari pada pertimbangan nilai etis juga. Dalam hubungan ini perlu dikemukakan pula bahwa apa yang dinilai benar pada disiplin ilmu, adalah ditentukan oleh ilmu itu sendiri; dan apa yang dianggap baik dalam suatu teknologi, ditentukan pula oleh teknologi itu sendiri. Penilaian terakhir untuk menentukan adanay kebenaran didalam suatu ilmu dan adnya kesahihan di dalam suatu teknologi, hanya dapat di lakukan oleh ilmu ang paling berwenang, yaitu: etika. Dengan etika dijawab pertanaan mengenai penentuan: apkah sesuatu itu baik bagi manusia menurut totlitasnya.

Akhirnya, masalah moral tidak dapat dilepaskan dari tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan kebenaran dan terlebih-lebih untuk mepertahankan kebenaran, diperlukan keberanian moral. Sejarah kemanusiaan dihiasi dengan semangat para martir yang rela mengorbankan nyawanya dalam mempertahankan apa yang mereka anggap benar. Peradaban yang telah menyaksikan, Socrates dipaksa minum racun dan Jhon Huss dibakar. Sejarah tidak berhenti disini, kemanusiaan tiadak pernah urung dihalangi untuk menemukan kebenaran. Tanpa landasan moral maka mudah sekali para ilmuwan tergelincir dalam melakukan protitusi intelektual. Penalaran secara nasional yang telah membawa manusia mencapai harkatnya seperti sekarang ini bergani dengan proses rasionalisasi yang bersifat mendustakan kebenaran. Kaitan dengan hal ini, Alice menyatakan bahwa “Segalanya punya moral, asalkan kau mampu menemukannya”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar