Rabu, 16 Desember 2009

nanagemen sekolah

BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membawa perubahan di hampir semua aspek kehidupan manusia dimana berbagai permasalahan hanya dapat dipecahkan kecuali dengan upaya penguasaan dan peningkatan ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain manfaat bagi kehidupan manusia di satu sisi perubahan tersebut juga telah membawa manusia ke dalam era persaingan global yang semakin ketat. Agar mampu berperan dalam persaingan global, maka sebagai bangsa kita perlu terus mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusianya. Oleh karena itu, peningkatan kualitas sumber daya manusia merupakan kenyataan yang harus dilakukan secara terencana, terarah, intensif, efektif dan efisien dalam proses pembangunan, kalau tidak ingin bangsa ini kalah bersaing dalam menjalani era globalisasi tersebut.
Berbicara mengenai kualitas sumber daya manusia, pendidikan memegang peran yang sangat penting dalam proses peningkatan kualitas sumber daya manusia. Peningkatan kualitas pendidikan merupakan suatu proses yang terintegrasi dengan proses peningkatan kualitas sumber daya manusia itu sendiri. Menyadari pentingnya proses peningkatan kualitas sumber daya manusia, maka pemerintah bersama kalangan swasta sama-sama telah dan terus berupaya mewujudkan amanat tersebut melalui berbagai usaha pembangunan pendidikan yang lebih berkualitas antara lain melalui pengembangan dan perbaikan kurikulum dan sistem evaluasi, perbaikan sarana pendidikan, pengembangan dan pengadaan materi ajar, serta pelatihan bagi guru dan tenaga kependidikan lainnya. Tetapi pada kenyataannya upaya pemerintah tersebut belum cukup berarti dalam meningkatkan kuailtas pendidikan. Salah satu indikator kekurang berhasilan ini ditunjukkan antara lain dengan NEM siswa untuk berbagai bidang studi pada jenjang SLTP dan SLTA yang tidak memperlihatkan kenaikan yang berarti bahkan boleh dikatakan konstan dari tahun ke tahun, kecuali pada beberapa sekolah dengan jumlah yang relatif sangat kecil.
Ada dua faktor yang dapat menjelaskan mengapa upaya perbaikan mutu pendidikan selama ini kurang atau tidak berhasil. Pertama strategi pembangunan pendidikan selama ini lebih bersifat input oriented. Strategi yang demikian lebih bersandar kepada asumsi bahwa bilamana semua input pendidikan telah dipenuhi, seperti penyediaan buku-buku (materi ajar) dan alat belajar lainnya, penyediaan sarana pendidikan, pelatihan guru dan tenaga kependidikan lainnya, maka secara otomatis lembaga pendidikan ( sekolah) akan dapat menghasilkan output (keluaran) yang bermutu sebagai mana yang diharapkan. Ternyata strategi input-output yang diperkenalkan oleh teori education production function (Hanushek, 1979,1981) tidak berfungsi sepenuhnya di lembaga pendidikan (sekolah), melainkan hanya terjadi dalam institusi ekonomi dan industri.
Kedua, pengelolaan pendidikan selama ini lebih bersifat macro-oriented, diatur oleh jajaran birokrasi di tingkat pusat. Akibatnya, banyak faktor yang diproyeksikan di tingkat makro (pusat) tidak terjadi atau tidak berjalan sebagaimana mestinya di tingkat mikro (sekolah). Atau dengan singkat dapat dikatakan bahwa komleksitasnya cakupan permasalahan pendidikan, seringkali tidak dapat terpikirkan secara utuh dan akurat oleh birokrasi pusat.
Diskusi tersebut memberikan pemahaman kepada kita bahwa pembangunan pendidikan bukan hanya terfokus pada penyediaan faktor input pendidikan tetapi juga harus lebih memperhatikan faktor proses pendidikan..Input pendidikan merupakan hal yang mutlak harus ada dalam batas - batas tertentu tetapi tidak menjadi jaminan dapat secara otomatis meningkatkan mutu pendidikan (school resources are necessary but not sufficient condition to improve student achievement). Disamping itu mengingat sekolah sebagai unit pelaksana pendidikan formal terdepan dengan berbagai keragaman potensi anak didik yang memerlukan layanan pendidikan yang beragam, kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan lainnya, maka sekolah harus dinamis dan kreatif dalam melaksanakan perannya untuk mengupayakan peningkatan kualitas/mutu pendidikan. hal ini akan dapat dilaksanakan jika sekolah dengan berbagai keragamannya itu, diberikan kepercayaan untuk mengatur dan mengurus dirinya sendiri sesuai dengan kondisi lingkungan dan kebutuhan anak didiknya. Walaupun demikian, agar mutu tetap terjaga dan agar proses peningkatan mutu tetap terkontrol, maka harus ada standar yang diatur dan disepakati secara secara nasional untuk dijadikan indikator evaluasi keberhasilan peningkatan mutu tersebut (adanya benchmarking). Pemikiran ini telah mendorong munculnya pendekatan baru, yakni pengelolaan peningkatan mutu pendidikan di masa mendatang harus berbasis sekolah sebagai institusi paling depan dalam kegiatan pendidikan. Pendekatan ini, kemudian dikenal dengan manajemen peningkatan mutu pendidikan berbasis sekolah (School Based Quality Management) atau dalam nuansa yang lebih bersifat pembangunan (developmental) disebut School Based Quality Improvement.
Konsep yang menawarkan kerjasama yang erat antara sekolah, masyarakat dan pemerintah dengan tanggung jawabnya masing - masing ini, berkembang didasarkan kepada suatu keinginan pemberian kemandirian kepada sekolah untuk ikut terlibat secara aktif dan dinamis dalam rangka proses peningkatan kualitas pendidikan melalui pengelolaan sumber daya sekolah yang ada. Sekolah harus mampu menterjemahkan dan menangkap esensi kebijakan makro pendidikan serta memahami kindisi lingkunganya (kelebihan dan kekurangannya) untuk kemudian melaui proses perencanaan, sekolah harus memformulasikannya ke dalam kebijakan mikro dalam bentuk program - program prioritas yang harus dilaksanakan dan dievaluasi oleh sekolah yang bersangkutan sesuai dengan visi dan misinya masing - masing. Sekolah harus menentukan target mutu untuk tahun berikutnya. Dengan demikian sekolah secara mendiri tetapi masih dalam kerangka acuan kebijakan nasional dan ditunjang dengan penyediaan input yang memadai, memiliki tanggung jawab terhadap pengembangan sumber daya yang dimilikinya sesuai dengan kebutuhan belajar siswa dan masyarakat.
2. Tujuan
Konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini ditulis dengan tujuan;
a. Mengetahui komponen-komponen manajemen sekolah.
b. Menjelaskan kegiatan-kegiatan yang termasuk manajemen kurikulum.
c. Membuat satuan pelajaran untuk pokok bahasan bidang studi.
d. Membedakan penilaian dengan pendekatan PAN dan PAP.
e. Menjelaskan cara penerimaan siswa baru, perekrutan pegawai baru, pembinaan pegawai, pengelolaan SPP.
f. Menjelasakan tugas HUSEMAS.
g. Menjelaskan fungsi layanan khusus sekolah.
h. Meningkatkan mutu pendidikan.
3. Rumusan Masalah
Bervariasinya kebutuhan siswa akan belajar, beragamnya kebutuhan guru dan staf lain dalam pengembangan profesionalnya, berbedanya lingkungan sekolah satu dengan lainnya dan ditambah dengan harapan orang tua/masyarakat akan pendidikan yang bermutu bagi anak dan tuntutan dunia usaha untuk memperoleh tenaga bermutu, berdampak kepada keharusan bagi setiap individu terutama pimpinan kelompok harus mampu merespon dan mengapresiasikan kondisi tersebut di dalam proses pengambilan keputusan. Ini memberi keyakinan bahwa di dalam proses pengambilan keputusan untuk peningkatan mutu pendidikan mungkin dapat dipergunakan berbagai teori, perspektif dan kerangka acuan (framework) dengan melibatkan berbagai kelompok masyarakat terutama yang memiliki kepedulian kepada pendidikan. Karena sekolah berada pada pada bagian terdepan dari pada proses pendidikan, maka diskusi ini memberi konsekwensi bahwa sekolah harus menjadi bagian utama di dalam proses pembuatan keputusan dalam rangka peningkatan mutu pendidikan. Sementara, masyarakat dituntut partisipasinya agar lebih memahami pendidikan, sedangkan pemerintah pusat berperan sebagai pendukung dalam hal menentukan kerangka dasar kebijakan pendidikan.
Strategi ini berbeda dengan konsep mengenai pengelolaan sekolah yang selama ini kita kenal. Dalam sistem lama, birokrasi pusat sangat mendominasi proses pengambilan atau pembuatan keputusan pendidikan, yang bukan hanya kebijakan bersifat makro saja tetapi lebih jauh kepada hal-hal yang bersifat mikro; Sementara sekolah cenderung hanya melaksanakan kebijakan-kebijakan tersebut yang belum tentu sesuai dengan kebutuhan belajar siswa, lingkungan Sekolah, dan harapan orang tua. Pengalaman menunjukkan bahwa sistem lama seringkali menimbulkan kontradiksi antara apa yang menjadi kebutuhan sekolah dengan kebijakan yang harus dilaksanakan di dalam proses peningkatan mutu pendidikan. Fenomena pemberian kemandirian kepada sekolah ini memperlihatkan suatu perubahan cara berpikir dari yang bersifat rasional, normatif dan pendekatan preskriptif di dalam pengambilan keputusan pendidikan kepada suatu kesadaran akan kompleksnya pengambilan keputusan di dalam sistem pendidikan dan organisasi yang mungkin tidak dapat diapresiasiakan secara utuh oleh birokrat pusat. Hal inilah yang kemudian mendorong munculnya pemikiran untuk beralih kepada konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah sebagai pendekatan baru di Indonesia, yang merupakan bagian dari desentralisasi pendidikan yang tengah dikembangkan.
Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah merupakan alternatif baru dalam pengelolaan pendidikan yang lebih menekankan kepada kemandirian dan kreatifitas sekolah. Konsep ini diperkenalkan oleh teori effective school yang lebih memfokuskan diri pada perbaikan proses pendidikan (Edmond, 1979). Beberapa indikator yang menunjukkan karakter dari konsep manajemen ini antara lain sebagai berikut; (i) lingkungan sekolah yang aman dan tertib, (ii) sekolah memilki misi dan target mutu yang ingin dicapai, (iii) sekolah memiliki kepemimpinan yang kuat, (iv) adanya harapan yang tinggi dari personel sekolah (kepala sekolah, guru, dan staf lainnya termasuk siswa) untuk berprestasi, (v) adanya pengembangan staf sekolah yang terus menerus sesuai tuntutan IPTEK, (vi) adanya pelaksanaan evaluasi yang terus menerus terhadap berbagai aspek akademik dan administratif, dan pemanfaatan hasilnya untuk penyempurnaan/perbaikan mutu, dan (vii) adanya komunikasi dan dukungan intensif dari orang tua murid/masyarakat. Pengembangan konsep manajemen ini didesain untuk meningkatkan kemampuan sekolah dan masyarakat dalam mengelola perubahan pendidikan kaitannya dengan tujuan keseluruhan, kebijakan, strategi perencanaan, inisiatif kurikulum yang telah ditentukan oleh pemerintah dan otoritas pendidikan. Pendidikan ini menuntut adanya perubahan sikap dan tingkah laku seluruh komponen sekolah; kepala sekolah, guru dan tenaga/staf administrasi termasuk orang tua dan masyarakat dalam memandang, memahami, membantu sekaligus sebagai pemantau yang melaksanakan monitoring dan evaluasi dalam pengelolaan sekolah yang bersangkutan dengan didukung oleh pengelolaan sistem informasi yang presentatif dan valid. Akhir dari semua itu ditujukan kepada keberhasilan sekolah untuk menyiapkan pendidikan yang berkualitas/bermutu bagi masyarakat.
Dalam pengimplementasian konsep ini, sekolah memiliki tanggung jawab untuk mengelola dirinya berkaitan dengan permasalahan administrasi, keuangan dan fungsi setiap personel sekolah di dalam kerangka arah dan kebijakan yang telah dirumuskan oleh pemerintah. Bersama - sama dengan orang tua dan masyarakat, sekolah harus membuat keputusan, mengatur skala prioritas disamping harus menyediakan lingkungan kerja yang lebih profesional bagi guru, dan meningkatkan pengetahuan dan kemampuan serta keyakinan masyarakat tentang sekolah/pendidikan. Kepala sekolah harus tampil sebagai koordinator dari sejumlah orang yang mewakili berbagai kelompok yang berbeda di dalam masyarakat sekolah dan secara profesional harus terlibat dalam setiap proses perubahan di sekolah melalui penerapan prinsip-prinsip pengelolaan kualitas total dengan menciptakan kompetisi dan penghargaan di dalam sekolah itu sendiri maupun sekolah lain. Ada empat hal yang terkait dengan prinsip - prinsip pengelolaan kualitas total yaitu; (i) perhatian harus ditekankan kepada proses dengan terus - menerus mengumandangkan peningkatan mutu, (ii) kualitas/mutu harus ditentukan oleh pengguna jasa sekolah, (iii) prestasi harus diperoleh melalui pemahaman visi bukan dengan pemaksaan aturan, (iv) sekolah harus menghasilkan siswa yang memiliki ilmu pengetahuan, keterampilan, sikap arief bijaksana, karakter, dan memiliki kematangan emosional. Sistem kompetisi tersebut akan mendorong sekolah untuk terus meningkatkan diri, sedangkan penghargaan akan dapat memberikan motivasi dan meningkatkan kepercayaan diri setiap personel sekolah, khususnya siswa. Jadi sekolah harus mengontrol semua semberdaya termasuk sumber daya manusia yang ada, dan lebih lanjut harus menggunakan secara lebih efisien sumber daya tersebut untuk hal - hal yang bermanfaat bagi peningkatan mutu khususnya. Sementara itu, kebijakan makro yang dirumuskan oleh pemerintah atau otoritas pendidikan lainnya masih diperlukan dalam rangka menjamin tujuan - tujuan yang bersifat nasional dan akuntabilitas yang berlingkup nasional.





BABII
ISI
“MANAJEMEN KOMPONEN-KOMPONEN SEKOLAH”
1. Manajemen Kurikuum
Berdasarkan kurikulum standar yang telah ditentukan secara nasional, sekolah bertanggung jawab untuk mengembangkan kurikulum baik dari standar materi (content) dan proses penyampaiannya. Melalui penjelasan bahwa materi tersebut ada mafaat dan relevansinya terhadap siswa, sekolah harus menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan melibatkan semua indera dan lapisan otak serta menciptakan tantangan agar siswa tumbuh dan berkembang secara intelektual dengan menguasai ilmu pengetahuan, terampil, memilliki sikap arif dan bijaksana, karakter dan memiliki kematangan emosional. Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam kegiatan ini yaitu;
 pengembangan kurikulum tersebut harus memenuhi kebutuhan siswa.
 bagaimana mengembangkan keterampilan pengelolaan untuk menyajikan kurikulum tersebut kepada siswa sedapat mungkin secara efektif dan efisien dengan memperhatikan sumber daya yang ada.
 pengembangan berbagai pendekatan yang mampu mengatur perubahan sebagai fenomena alamiah di sekolah.
Untuk melihat progres pencapain kurikulum, siswa harus dinilai melalui proses test yang dibuat sesuai dengan standar nasional dan mencakup berbagai aspek kognitif, affektif dan psikomotor maupun aspek psikologi lainnya. Proses ini akan memberikan masukan ulang secara obyektif kepada orang tua mengenai anak mereka (siswa) dan kepada sekolah yang bersangkutan maupun sekolah lainnya mengenai performan sekolah sehubungan dengan proses peningkatan mutu pendidikan.
Suksesnya PBM dapat ditunjang oleh sarana dan prasarana pendidikan, anggaran/biaya, tata laksana, organisasi, serta HUSEMAS, termasuk pula supervisi yang mantap. Secara operasional kegiatan administrasi/manajemen kurikulum itu dapat meliputi tiga kegiatan pokok, yaitu kegiatan yang berhubungan dengan tugas guru, peserta didik, dan seluruh sivitas akademik atau warga sekolah/lembaga pendidikan.
Ada tiga jenis jadwal pelajaran untuk guru, yaitu:
a. Jadwal pelajaran kurikuler, kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
1) Jadwal pelajaran kurikuler disusun secara edukatif oleh guru/tim guru dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan akademik seperti:
a) Keseimbangan berat/ringan bobot pelajaran setiap hari
b) Pengaturan mata pelajaran mana yang pelu didahulukan/di tengah/di akhir pelajaran, seperti olahraga, matematika, kesenian, seni rupa, dan seterusnya.
c) Mata pelajaran yang bersifat praktikum/PKL/PPL dan sebagainya.
2) Jadwal pelajaran kokurikuler disusun secara strategic sesuai situasi dan kondisi individual/kelompok pesrta didik/siswa sehimgga seperti tugas-tugas PR (pekerjaan Rumah) benar-benar dapat meningkatkan pemahaman, keterampilan, serta mencerna materi pelajaran secara efektif dan efisien.
3) Jadwal pelajaran ekstra-kurikuler disusun di luar jam pelajaran kurikuler dan program kokurikuler, biasanya bersifat pngembangan ekspresi hobi, bakat, minat, serta prestasi seperti seni tari, seni music, cinta alam, palang merah remaja, dokter kecil, koperasi, pramuka, serta penunjang PBM lainya.
b. Jadwal pelajaran yang tatp muka dan non tatap muka.
Jadwal pelajaran tatap muka dalam kelas yang dibatasi empat dinding atau kelas yang berupa lapangan olahraga, pasar, lalu lintas, dan sebagainya.
Dalam kegiatan PBM (proses belajar mengajar) guru mempunyai tugas yang merupakan serangkaian kegiatan pengajaran/instruksional untuk mencapai hasil pengajaran yang optimal, yaitu:
a. Membuat persiapan/ perencanaan pengajaran (desain instruksional)
b. Melaksanakan pengajaran (termasuk pengelolaan kelas)
c. Mengevaluasi hasil pengajaran
Desain instruksional adalah suatu perencanaan pengajaran dianggap sebagai system yang terdiri dari komponen-komponen yang saling berinteraksi dan saling berhubungan satu sama lain untuk mencapai sesuatu tujuan. Bila salah satu komponen tidak berfungsi, maka seluruh system akan terganggu sehingga tujuan yang telahditetapkan tidak dapat tercapai sesuai dengan yang diharapkan.
Dalam evaluasi kegiatan belajar mengajar dapat dibedakan atas 4 macam, yaitu:
a) Evaluasi formatif bagi siswa
1) Mengingat bahwa tujua belajar adalah belajar tuntas (mastery learning for), maka sebelum menguasai secara tuntas suatu materi pelajaran maka siswa dituntut lebih dulu menguasai satu kesatuan kecil sebelum kesatuan berikutnya.
2) Sebagai diagnose kesulitan belajar dan cara mengatasinya misalnya dengan usaha remidi.
b) Evaluasi formatif bagi pengajaran
1) Sebagai umpan balik keberhasilan dalam mengelola kegiatan mengajar untuk mengetahui seberapa materi yang telah/belum dikuasai para mahasiswa.
2) Dapat meramalkan sejauh mana evaluasi sumatif siswanya nanti, sehingga evaluasi formatif dan sumatif berhubungan erat.
c) Evaluasi sumatif
1) Sebagai alat pembanding keterampilan dan kecakapn antara siswa yang satu dengan lainya (sampai menentukan rangkingnya)
2) Sebagai bahan untuk meramal penyelesaian studi siswa
3) Sebagai umpan balik bagi siswa sendiri
4) Sebagai bahan penilai terhadap metode yang telah digunakan
d) Evaluasi diagnosis
Bila evaluasi ini dilakukan sewaktu proses belajar berlangsung maka arahnya adalah untuk meneliti sebab-sebab kesulitan belajar siswa.
Dalam kegiatan evaluasi/penilaian hasil belajar siswa ada dua acuan Norma Relatif (relative norm referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Norma (PAN), dan Penilaian dengan Acuan Kriteria (criterian referenced evaluation) atau sering disebut Penilaian dengan Acuan Patokan (PAP).
1) Dalam pendekatan PAN diasumsikan bahwa suatu populasi itu berdistrubusi normal, atau bahwa prestasi yang dicapai oleh para siswa itu dalam keadaan normal (guru, sarana, prasarana, social dan sebagainya).
Pada umumnya pendekatan PAN mendasar diri pada dua hal pokok sebelum memutuskn nilai akhir pengikut tes yaitu penetapan pengikut ujian/tes yang akan diluluskan dan penetapan batas lulus, dimana dalam hal ini masing-masing pengajar bisa menetapkan pilihannya.
2) Dalam pendekatan PAP penetapan batas lulus merupakan hal yang pokok. Penetapan batas kompensasi minimum yang diperlukan oleh seorang pengajar selnjutnya diterapkan hubungannya, antara derajat penguasaan kompetensi dengan nilai akhir yang diberikan.
Dengan pendekatan PAP pelaksanaannya tidak terlalu sulit, karena tanpa perhitungan statistic. Jika kompetensi yang ingin dicapai telah diidentifikasi dengan tuntas, dan tes yang akan dipergunakan memang benar-benar telah dapat vmengukur taraf kemampuan penguasaan kompetensi yang dimaksudkan, maka skor mentah hasil yang telah dihaluskan (dalam bentuk persentase) dapat langsung diterapkan ke dalam pedoman tersebut di atas.
2. Manajemen Peserta Didik
Manajemen Peserta Didik (Siswa) adalah seluruh poses kegiatan yang direncanakandan diusahakan secara sengaja serta pembinan secara kontinu terhadap seluruh peserta didik (dalam lembaga pendidikan yang bersangkutan) agar dapat mengikuti proses belajar mengajar (PBM) secara afektif dan efisien, demi tercapainya tujuan pendidikan yang telah ditetapkan.
Manajemen peserta didik menunjuk pada kegiatan-kegiatan di luar kelas dan dalam kelas. Kegiatan-kegiatan di luar kelas meliputi:
1) Penerimaan peserta didik baru meliputi:
a. Penyusunan panitia beserta program kerjanya
b. Pendaftaran calon peserta didik (pengumuman, tempat, waktu, syarat, dan sebagainya)
c. Penyelesaian berdasarkan NEM dengan kebutuhan jumlah tempat duduk yang tersedia di kelas I (satu/awal)
d. Pengumuinan calon yang diterima (termasuk cadangan)
e. Regristrasi (pencatatan peserta didik baru yang positif masuk)
2) Pencatatan peserta didik baru dalam Buku Induk dan Buku Mapper.
a. Format buku Induk dan buku Mapper
b. Data yang diisikan (identitas, orangtua/wali, alamat dan sebagainya)
c. Kelengkapan data: foto copy surat / akta kelahiran, surat keterangan kesehatan dan sebagainya
d. Buku Mapper mengutamakan pengisiannya berdasarkan abjad
3) Pembagian seragam sekolah beserta kelengkapannya, seragram praktikum, seragam pramuka dengan tata tertib penggunaannya
4) Pembagian Kartu Anggota Osis beserta Tata Tertib sekolah yang harus dipatuhi (termasuk sanksi terhadap pelanggarnya)
5) Pembinaan peserta didik dan pembinaan kesejahteraan peserta didik
a. Kesejahteraan mental/spiritual (penyediaan tempat sembahyang, BP dan sebagainya)
b. Kesejahteraan fisik (sanitasi lingkungan, LTKS, keamanan, kenyamanan sekolah dan sebagainya)
c. Kesejahteraan akademik (tersedianya perpustakaan, laboratorium, tempat belajar yang memadai, bimbingan belajar, penasehat akademik dan sebagainya)
d. Organisasi (OSIS,PNM, Pecinta Alam,Koperasi, PKS dan sebagainya)
e. Kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler (pengembangan bakat, minat, prestasi, hobi, ekspresi, seni dan sebagainya)
f. Rekreasi, pertandingan persahabatn, acara tutup tahun, study tour dan sebagainya)
g. Orientasi studi dan pengenalan kampus, keakraban dan sebagainya.
Kegiatan-kegiatan di dalam kelas meliputi:
1) Pengelolaan kelas (menciptakan dan mempertahankan kondisi yang optimal bagi terjadinya PBM)
2) Interaksi belajar mengajar yang positif.
3) Perhatian guru terhadap dinamika kelompok belajar, demi kelancaran CBSA.
4) Pemberian pengajaran remedial, bagi yang lambat belajar / yang memerlukan.
5) Pelaksanaan presensi secara kontinu.
6) Perhatianterhadap pelaksanaan tata tertib kelas.
7) Pelaksanaan jadwal pelajaran secara tertib.
8) Pembentukan pengurus kelas dan pengorganisasian kelas.
9) Penyediaan alat/media belajar lainnya.
10) Penyediaan alat/bahan penunjang belajar lainya.
Pada hakekatnya, tujuan pembinaan dan pengembangan peserta didik itu sesuia dengan Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia yang tercantum dalam GBHN. Peserta didik sebagai kader penerus perjuangan bangsa dan pembangunan nasional, harus dipersiapkan sebaik-baiknya serta dihindarkan dari segala kendala yang merusaknya, dengan memberikan bekal secukupnya dalam kepemimpinan Pancasila, pengetahuan, keteranpilan, kesgeran jasmani, keteguhan iman, kekuatan mental, patriotism, idealism, kepribadian nasional, kesadaran nasional, daya kreasi dan budi pekerti luhur serta penghayatan dan pengamalan Pancasila.
Kenakalan anak sebagai perbuatan anti social atau perbuatan penyelewengan/pelanggaran terhadap norma masyarakat yang dilakukan oleh anak/remaja tidak pernah luput dari perhatian kita. Hal tersebut harus ditangkal dan ditanggulangi dengan kebijakan-kebijakan pendidikan khususnya serta kebijakan-kebijakan lain pada umumnya secara menyeluruh dan terpadu. Penyelewengan norma kelompok yang bersifat anti social antara lain mencuri, pornografi dan pornoaksi, menggunakan narkoba, geng dan sebagainya.
Untuk menangkal dan menanggulangi kenakalan anak tersebut perludiketahui secara dini dan seksama tentang penyebab-penyebabnya seperti:
a) Faktor perkembangan jiwa pada periode pubertas
b) Factor lingkungan keluarga, sekolah dan masyarakat
3. Manajemen Personel
Sekolah bertanggung jawab dan terlibat dalam proses rekrutmen (dalam arti penentuan jenis guru yang diperlukan) dan pembinaan struktural staf sekolah (kepala sekolah, wakil kepala sekolah, guru dan staf lainnya). Sementara itu pembinaan profesional dalam rangka pembangunan kapasitas/kemampuan kepala sekolah dan pembinaan keterampilan guru dalam pengimplementasian kurikulum termasuk staf kependidikan lainnya dilakukan secara terus menerus atas inisiatif sekolah. Untuk itu birokrasi di luar sekolah berperan untuk menyediakan wadah dan instrumen pendukung. Dalam konteks ini pengembangan profesioanl harus menunjang peningkatan mutu dan pengharhaan terhadap prestasi perlu dikembangkan. Manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah memberikan kewenangan kepada sekolah untuk mengkontrol sumber daya manusia, fleksibilitas dalam merespon kebutuhan masyarakat, misalnya pengangkatan tenaga honorer untuk keterampilan yang khas, atau muatan lokal. Demikian pula mengirim guru untuk berlatih di institusi yang dianggap tepat.
Konsekwensi logis dari itu, sekolah harus diperkenankan untuk:
 mengembangkan perencanaan pendidikan dan prioritasnya didalam kerangka acuan yang dibuat oleh pemerintah.
 Memonitor dan mengevaluasi setiap kemajuan yang telah dicapai dan menentukan apakah tujuannya telah sesuai kebutuhan untuk peningkatan mutu.
 Menyajikan laporan terhadap hasil dan performannya kepada masyarakat dan pemerintah sebagai konsumen dari layanan pendidikan (pertanggung jawaban kepada stake-holders).
Uraian tersebut di atas memberikan wawasan pemahaman kepada kita bahwa tanggung jawab peningkatan kualitas pendidikan secara mikro telah bergeser dari birokrasi pusat ke unit pengelola yang lebih dasar yaitu sekolah. Dengan kata lain, didalam masyarakat yang komplek seperti sekarang dimana berbagai perubahan yang telah membawa kepada perubahan tata nilai yang bervariasi dan harapan yang lebih besar terhadap pendidikan terjadi begitu cepat, maka diyakini akan disadari bahwa kewenangan pusat tidak lagi secara tepat dan cepat dapat merespon perubahan keinginan masyarakat tersebut.
Kondisi ini telah membawa kepada suatu kesadaran bahwa hanya sekolah yang sekolah yang dikelola secara efektiflah (dengan manajemen yang berbasis sekolah) yang akan mampu merespon aspirasi masyarakat secara tepat dan cepat dalam hal mutu pendidikan.
Institusi pusat memiliki peran yang penting, tetapi harus mulai dibatasi dalam hal yang berhubungan dengan membangun suatu visi dari sistem pendidikan secara keseluruhan, harapan dan standar bagi siswa untuk belajar dan menyediakan dukungan komponen pendidikan yang relatif baku atau standar minimal. Konsep ini menempatkan pemerintah dan otorits pendiidikan lainnya memiliki tanggung jawab untuk menentukan kunci dasar tujuan dan kebijakan pendidikan dan memberdayakan secara bersama-sama sekolah dan masyarakat untuk bekerja di dalam kerangka acuan tujuan dan kebijakan pendidikan yang telah dirumuskan secara nasional dalam rangka menyajikan sebuah proses pengelolaan pendidikan yang secara spesifik sesuai untuk setiap komunitas masyarakat.
Jelaslah bahwa konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini membawa isu desentralisasi dalam manajemen (pengelolaan) pendidikan dimana birokrasi pusat bukan lagi sebagai penentu semua kebijakan makro maupun mikro, tetapi hanya berperan sebagai penentu kebijakan makro, prioritas pembangunan, dan standar secara keseluruhan melalui sistem monitoring dan pengendalian mutu. Konsep ini sebenarnya lebih memfokuskan diri kepada tanggung jawab individu sekolah dan masyarakat pendukungnya untuk merancang mutu yang diinginkan, melaksanakan, dan mengevaluasi hasilnya, dan secara terus menerus mnyempurnakan dirinya. Semua upaya dalam pengimplementasian manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah ini harus berakhir kepada peningkatan mutu siswa (lulusan).
Sementara itu pendanaan walaupun dianggap penting dalam perspektif proses perencanaan dimana tujuan ditentukan, kebutuhan diindentifikasikan, kebijakan diformulasikan dan prioritas ditentukan, serta sumber daya dialokasikan, tetapi fokus perubahan kepada bentuk pengelolaan yang mengekspresikan diri secara benar kepada tujuan akhir yaitu mutu pendidikan dimana berbagai kebutuhan siswa untuk belajar terpenuhi. Untuk itu dengan memperhatikan kondisi geografik dan sosiekonomik masyarakat, maka sumber daya dialokasikan dan didistribusikan kepada sekolah dan pemanfaatannya dipercayakan kepada sekolah sesuai dengan perencanaan dan prioritas yang telah ditentukan oleh sekolah tersebut dan dengan dukungan masyarakat. Pedoman pelaksanaan peningkatan mutu kalaupun ada hanya bersifat umum yang memberikan rambu-rambu mengenai apa-apa yang boleh/tidak boleh dilakukan.
Secara singkat dapat ditegaskan bahwa akhir dari itu semua bermuara kepada mutu pendidikan. Oleh karena itu sekolah-sekolah harus berjuang untuk menjadi pusat mutu (center for excellence) dan ini mendorong masing-masing sekolah agar dapat menentukan visi dan misi nya utnuk mempersiapkan dan memenuhi kebutuhan masa depan siswanya.
4. Manajemen Anggaran/Biaya Pendidikan
Manajemen angggaran/biaya sekolah/pendidikan merupakan seluruh proses kegiatan yang diencanakan dan dilaksanakan/diusahakan secara sengaja dan bersunggunh-sungguh, serta pembinaan secara kontinu terhadap biaya operasional sekolah/pendidikan, sehingga kegiatan operasianal pendidikan semakain efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikan yang ditetapkan. Secaragaris besar kegiatannya meliputi pengumpulan/penerimaan dana, yang sah (dana rutin, SPP, sumbangan BP3, Donasi, dan usaha-usaha halal lainnya, penggunaaan dana, dan pertanggungjawaban dana kepada pihak-pihakterkait yang berwenang.
Dana yang datang/masuk itu disebut dana masukan (input) yang kemudian setelah dilakukan perencanaan anggaran (budgeting), lalu digunakan dalam pelaksanaan proses/operasional pendidikan (througgput), dan akhirnya dipertanggungjawabkan sesuai ketentuan yang berlaku bersama hasil usaha (output) yang dihasilkannya.
Pada hakikatnya yang diadministrasikan oleh sekolah adalah anggaran/biaya pendidikan, bukan mengadministrasikan uangnya seperti yang dikelola oleh bank. Sebagai dasar hokum tata usaha keuangan negarayangtercantum dalam pasal 21 UUD 1945 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), sedangkan bagaimana cara keuangan negara itu diurus dan dipertanggungjawabkan, diatur dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara (dulu ICW = Indische Comptabilitiits Wet), keputusan Presiden Republik Indonesia tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta peraturan perundang-undangan lainya yang berlaku.
1. Beberapa kelengkapan yang diperlukan dalam penyelenggaraantata usaha keuangan sekolah.
a. Kutipan Daftar Isian (DIK) yang menyangkut perincian biaya bagi sekolah yang bersangkutan.
b. Buku regristrasi SPM (Surat Perintah Menguangkan) sebagai buku bantu yang berisi kolom-kolom.
c. Buku Bantu/Buku Harian (Buku Penolong) yang digunakan untuk melakukan pencatatan harian (pengeluaran/penerimaan)
d. Buku Kas Umum
Ada dua jenis Buku Kas Umum:
1) Buku Kas Umum berbentuk Skontro
2) Buku Kas Umum Tabelaris
2. Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) dan dana penunjang Pendidikan (DPP)
3. Pemeriksaaan Kas oleh Atasan Langsung
Tata cara pemeriksaaan kas adalah sebagai berikut:
a. Prosedur Pemeriksaan Kas
b. Pembuatan berita Acara Pemeriksaaan Kas
5. Manajemen Hubungan Seolah Dengan Masyarakat (HUSEMAS)
Manajemen Hubungan Sekolah dengan Masyarakat merupakan seluruh proses kegiatan yang direncanakan dan diusahakan secara sengaja dan bersungguh-sungguh serta pembinaan secara kontinu untuk mendapatkan simpati dari masyarakat pada umumnya serta dari publiknya, pada khususnya, sehingga kegiatan operasional sekolah/pendidikan semakin efektif dan efisien, demi membantu tercapainya tujuan pendidikanyang telah diterapkan. Pada hakikatnya sekolah merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan masyarakat, khususnya masyarakat publiknya seperti para orangtua murid/anggota Badan Pembantu Penyelenggaraan Pendidikan (BP3), dan atasan langsungnya. Demikian pula hasil pendidikan pelaksanaan sekolah akan menjadi harapan bahkan dambaan masyarakat, maka kegiatan-kegoiatan sekolah juga harus terpadu dengan derap masyarakat. Sekolah juga menjadi tanggungjawab bersama antara pemerintah, orangtua dan masyarakat. Tetapi orangtua hanya sebagai pembantu penyelenggara pendidikan, dan tidak berhak untuk mempengaruhi apalagi mengubah arah sasaran pendidikannya.
Secara lebih jelasnya maka HUSEMAS ini dapat dilihat dari fungsi, tujuan, manfaat dan bentuk-bentuk operasionalnya.
a. Fungsi pokok dari HUSEMAS adlah menarik simpati masyarakat pada umumnya serta public (masyarakat terdekat dan langsung terkait) khususnya sehingga meingkatkan relasi serta animo masyarakat terhadap sekolah.
b. Tujuan dari HUSEMAS adalah meningkatkan popularitas sekolah dimata masyarakat.
c. Manfaat dari HUSEMAS dengan demikian menambah simpati masyarakat yang dapat meningkatkan harga diri (prestis) sekolah.
d. Bebtruk-bentuk operasional dari HUSEMAS bisa bermacam-macam tergantung pada kreativitas sekolah, kondisi dan situasi sekolah, fasilitas dan sebagainya.
1) Dibidang sarana akademik
2) Dibidang prasarana
3) Dibidang social sekolah dengan masyarakat
4) Kegiatan karyawisata
e. Kegiatan olahraga dan kesenian juga daoat merupakan sarana HUSEMAS.
f. Menyediakan fasilitas sekolah untuk kepentingan masyarakat sekitar sepanjang tidak mengganggu kelancaran PBM.
g. Mengikut sertakan sivitas akademika sekolah dalam kegiatan masyarakat.
h. Mengikutsertakan tokoh, pemuka, pakar masyarakat dalam kegiatan kurikuler dan ekstrakurikuler sekolah.
i. Dan masih banyak lagi kegiatan operasional Husemas yang dapat dikreasikan sesuai situasi, kondisi, serta kemampuan pihak terkait.
6. Manajemen Layanan Khusus
Manajemen layanan khusus meliputi manajemen perpustakaan, kesehatan, dan keamanan sekolah. Manajemen komponen-komponen tersebut merupakan bagian penting dari MBS yang efektif dan efisien.
Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni yang berlangsung begitu pesat pada masa sekarang vmenyebabkan guru tidak bisa melayani kebutuhan anak-anak akan informasi, dan guru-guru juga tidak bisa mengandalkan apa yang diperolehnya di bangku sekolah.
Perpustakaan yang lengkap dam dikelola dengan baik memungkinkan peserta didik untuk lebih mengembangkan dan mendalami pengetahuan yang diperolehnya di kelas melalui belajar mandiri, baik pada waktu-waktu kosong di sekolah maupun di rumah. Di samping itu, juga memungkinkan guru untuk mengembangkan pengetahuan secara mandiri, dan juga dapat mengajar dengan metode, bervariasi misalnya belajar individual.







BAB III
PENUTUP
1. Kesimpulan
Beragamnya kondisi lingkungan sekolah dan bervariasinya kebutuhan siswa di dalam proses pembelajaran ditambah lagi dengan kondisi geografi Indonesia yang sangat kompleks, seringkali tidak dapat diapresiasikan secara lengkap oleh birokrasi pusat. Oleh karena itu di dalam proses peningkatan mutu pendidikan perlu dicari alternatif pengelolaan sekolah. Hal ini mendorong lahirnya konsep manajemen peningkatan mutu berbasis sekolah. Manajemen alternatif ini memberikan kemandirian kepada sekolah untuk mengatur dirinya sendiri dalam rangka peningkatan mutu pendidikan, tetapi masih tetap mengacu kepada kebijakan nasional. Konsekwensi dari pelaksanaan program ini adanya komitmen yang tinggi dari berbagai pihak yaitu orang tua/masyarakat, guru, kepala sekolah, siswa dan staf lainnya di satu sisi dan pemerintah (Depdikbud) di sisi lainnya sebagai partner dalam mencapai tujuan peningkatan mutu.
Dalam rangka pelaksanaan konsep manajemen ini, strategi yang dapat dilaksanakan oleh sekolah antara lain meliputi evaluasi diri untuk menganalisa kekuatan dan kelemahan sekolah. Berdasarkan hasil evaluasi tersebut sekolah bersama-sama orang tua dan masyarakat menentukan visi dan misi sekolah dalam peningkatan mutu pendidikan atau merumuskan mutu yang diharapkan dan dilanjutkan dengan penyusunan rencana program sekolah termasuk pembiayaannya, dengan mengacu kepada skala prioritas dan kebijakan nasional sesuai dengan kondisi sekolah dan sumber daya yang tersedia. Dalam penyusunan program, sekolah harus menetapkan indikator atau target mutu yang akan dicapai. Kegiatan yang tak kalah pentingnya adalah melakukan monitoring dan evaluasi program yang telah direncanakan sesuai dengan pendanaannya untuk melihat ketercapaian visi, misi dan tujuan yang telah ditetapkan sesuai dengan kebijakan nasional dan target mutu yang dicapai serta melaporkan hasilnya kepada masyarakat dan pemerintah. Hasil evaluasi (proses dan output) ini selanjutnya dapat dipergunakan sebagai masukan untuk perencanaan/penyusunan program sekolah di masa mendatang (tahun berikutnya). Demikian terus menerus sebagai proses yang berkelanjutan.
Untuk pengenalan dan menyamakan persepsi sekaligus untuk memperoleh masukan dalam rangka perbaikan konsep dan pelaksanaan manajemen ini, maka sosialisasi harus terus dilakukan. Kegiatan-kegiatan yang bersifat pilot/uji coba harus segera dilakukan untuk mengetahui kendala-kendala yang mungkin muncul di dalam pelaksanaannya untuk dicari solusinya dalam rangka mengantisipasi kemungkinan-kemungkian kendala yang muncul di masa mendatang. Harapannya dengan konsep ini, maka peningkatan mutu pendidikan akan dapat diraih oleh kita sebagai pelaksanaan dari proses pengembangan sumber daya manusia menghadapi persaingan global yang semakin ketat dan ditunjang oleh ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang secara cepat.













DAFTAR PUSTAKA
Dikmenum, 1999, Peningkatan Mutu Pendidikan Berbasis Sekolah: Suatu Konsepsi Otonomi Sekolah (paper kerja), Depdikbud, Jakarta.
Depdiknas. 2001. Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah; Buku 1 Konsep dan Pelaksanaan. Jakarta : Direktorat SLTP Dirjen Dikdasmen,


Tidak ada komentar:

Posting Komentar